25.1: The Lair of Arashi

2.6K 120 1
                                    

Para prajurit menjatuhkan mereka di ruang tamu markas besar tetua Gaelea—ini memang tempat yang ingin mereka tuju. Pemimpin pasukan yang kemudian melepas pasak-pasak tersebut dari sayap mereka berkata, "Arashi sudah menunggumu, Nyonya Bawah Tanah."

Dan pintu pun ditutup. Dikunci.

Sesaat, para pengendali elemen tidak melakukan apa-apa selain duduk di lantai ruangan sambil menahan rasa sakit di sayap mereka. Pasak-pasak tersebut meninggalkan lubang di bagian sayap yang berdaging—kecuali Sakura—merontokkan beberapa bulu-bulu, memperlihatkan jaringan merah yang tidak ingin mereka lihat. Terlalu mual rasanya. Di pikiran mereka sekarang hanya ada dua orang: Tabitha. Takumi. Dan satu kucing. Metsuki.

Setiap pengendali elemen memiliki intuisi yang tinggi dalam membayangkan suatu kejadian yang bahkan tidak mereka lihat sekalipun, dan sekarang kelima orang itu mulai membayangkan kejadian tadi malam, ketika Tabitha dilukai; meskipun bayangan itu membuat mereka makin muak. Kemarin malam, Tabitha terbangun dari tidurnya dan menemukan pria pemimpin pasukan sedang mengintip dari balik... mungkin dari balik pepohonan. Pria itu memukulnya hingga tak sadarkan diri, merobek dahinya yang selama ini tertutup poni, dengan batu tajam, dan pasti ada sesuatu di batu tajam itu sehingga Tabitha tidak bangun-bangun sampai sekarang. Sakura teringat kampung halamannya sendiri, di mana para elf biasa mencelupkan panah mereka pada cairan tertentu agar lawan mereka pingsan, bukan mati. Ia tidak berani membayangkan hal itu lebih jauh.

Dan sang pangeran. Andaikan pada saat itu mereka bilang bahwa sang pangeran sudah kembali ke dunia ini, nasibnya akan jauh lebih buruk daripada pasak tulang yang ditusukkan ke sayap—karena Pangeran Takumi tidak bersayap lagi. Dan para prajurit tidak mau repot-repot membawa Tabitha juga. Semoga mereka selamat.

Tempat ini tidak terlihat seperti markas besar Gaelea. Ruang tamunya, tempat mereka dijatuhkan, kini dipenuhi kursi-kursi lapuk dan sofa-sofa berdebu. Karpet bulu di bawah mereka terasa seperti kulit kering. Obor-obor yang seharusnya terpasang di dinding ruangan entah padam atau hilang, dan karena ruangan ini terletak di bawah tanah, satu-satunya penerangan yang bisa diandalkan adalah sinar matahari yang menerobos dari ventilasi di dinding—jauh tinggi dari tempat mereka berada.

Ruangan ini sebelumnya megah karena sofa-sofa merah dan ukiran-ukiran artistik di perabotannya. Kini, yang tersisa hanya puing-puing berserakan.

Higina menjadi yang pertama kali bangkit dari lantai. Ia masih menyimpan kapak perangnya di dalam jubah, kemudian berjalan meninggalkan teman-temannya, menjelajahi isi ruangan lebih dalam.

"Mau apa kau?" tanya Sakura lemah, nada suaranya goyah.

"Mencari Arashi. Tidak ada para tetua di sini. Kalian lihat sendiri, 'kan?" tanya Higina datar. Rasa sakit mematikan segala keinginannya untuk bercanda—atau pura-pura galak, seperti yang biasa ia lakukan. Tersenyum saja tidak.

Sakura menggeleng. "Tapi, Higina, kalau kau bisa menurunkan kapak itu... lakukanlah." Sakura pun bangkit, diikuti yang lainnya. Higina mengangkat alis.

"Jangan menyerang seseorang kecuali karena terpaksa," jelas Genma. 

Higina melangkahi salah satu kursi dan kemudian menoleh ke arahnya. "Ironis, tapi—hei. Lewat sini."

Gadis itu memperlihatkan sebuah lorong sempit di balik tirai merah tercabik-cabik di sebelah kiri ruangan; lorong yang membawa mereka lebih jauh ke dalam markas bawah tanah dan berakhir di sebuah ruangan bundar. Ruangan itu tidak berisi apa-apa kecuali pintu-pintu. Lima pintu, lebih tepatnya. Dua pintu paling kiri hanya menunjukkan ruangan gelap tempat menaruh barang-barang pecah-belah, sementara dua pintu paling kanan berisi buku-buku yang sudah rusak. Pintu di tengah terkunci.

"Lucu," gumam Higina. "Aku tidak pernah mengunci pintu ruang makan sebelumnya."

Dicobanya membuka pintu yang terkunci dengan cara mendobrak. Pada saat itulah, terdengar suara rintihan panjang dari balik pintu.

ElementbenderWhere stories live. Discover now