75: Undamarie

1.4K 81 7
                                    

Sang Raja akan "beristirahat" hari ini juga. Dia akan pergi ke suatu tempat yang tenang dan sunyi; di mana dia bisa memikirkan rencana selanjutnya dengan pikiran jernih.

Rapat selama tiga jam yang alot akhirnya berakhir dengan tepukan tangan Denki di bahu putranya. Mereka berdua berdiri di ambang pintu, mata sipit pria itu mengarah lurus pada Hajime. Para menteri menunggu mereka dengan sabar.

"Baik-baik selama aku pergi, ya," Denki berkata sambil tertawa kecil, menyadari betapa konyolnya situasi dramatis ini. Putranya hanya terkekeh gugup menyadari perubahan sikap ayahnya yang tiba-tiba.

Seluruh situasi ini seperti mimpi dalam benak Hajime. Ayahnya sudah bilang ia akan ke tempat teraman di Evaliot untuk menyusun rencana—di mana lagi tempat teraman dari para pengacau itu, selain di istananya? Di lain pihak, cara ayahnya menepuk bahunya—bahkan tertawa padanya seperti ini—seolah ia akan pergi ke gua laut yang diisi barakuda kelaparan; seolah pria itu bisa saja pergi tanpa pernah kembali lagi.

Hajime mungkin penurut, tetapi ia tidak bodoh.

"Cerdic, sebarkan sayembaranya sekarang juga," tatapan Denki beralih ke arah Menteri Perang dan Keamanan. Raut wajahnya kembali keras. "Perintahkan rakyat mencari enam orang pengembara... yang bukan salah satu dari kelima ras utama."

"Baik, Yang Mulia."

Hajime membuka mulut, nyaris akan berkata sesuatu—Denki segera menginjak kakinya. "Putraku akan membantu kalian semampunya, karena itu aku harap kalian juga bisa membantunya beradaptasi di istana." Melirik sekilas ke arah Hajime, pria itu melanjutkan. "Dia terutama tergila-gila dengan pangeran yang sudah mati; sering menceracau bahwa anak keparat itu masih hidup."

Gantian Hajime yang menginjak kaki ayahnya.

"Itu dia maksudku! Kalau Takumi masih hidup, bagaimana? Kalau dia ada di luar sana, menyusun rencana melawan istana.... Kau sendiri pernah bilang kita harus siaga untuk situasi yang terburuk, seberapa mustahilnya itu!" Matanya nyalang menatap sang ayah, kemudian ke arah para menteri, kemudian ke ayahnya lagi. Salah satu menteri yang bermata awas menyadari bahwa ujung rambut Hajime sekilas menyala-nyala. Bukan secara emosi, tentu saja, melainkan sungguh-sungguh berapi. Namun itu hanya terjadi sedetik.

Kemudian, terjadi sesuatu yang nyaris tidak pernah dibayangkan sang pangeran baru sebelumnya. Denki memeluk bahu pemuda itu erat-erat, selama yang ia bisa. Seperti seorang ayah yang berusaha menghilangkan keraguan putranya. Pelukan itu hangat dan sunyi, karena baik sang ayah maupun sang putra tidak punya sesuatu pun untuk dikatakan. Situasi itu membuat Hajime agak malu.

Nazarius berdeham dan berkata canggung. “Yang Mulia, kalau diizinkan, apakah kami boleh…?”

“Silahkan pergi,” pria itu bergumam. Tangannya belum mau beranjak dari bahu Hajime. “Aku perlu bicara dengan anak ini empat mata.”

Sementara itu, Hajime mulai berpikir untuk membalas pelukan ayahnya.

Namun perkataan Denki berikutnya mengurungkan niat itu. Sang Raja berbisik di telinganya, dengan nada halus dan tajam, seperti pisau, “kalau Takumi sampai menjejakkan kaki di sini, kau yang akan disalahkan, bukan?”

Itu saja.

Mulai saat itu, Hajime mulai berpikiran untuk menurunkan kepercayaannya pada Denki.

***

“Aku tidak akan pernah mau ke sana lagi,” Takumi menggumam setengah menggeram, menyodorkan sebungkusan makanan ke tangan Genma dengan kasar.

Ayumi mengangkat bahu pasrah, tetapi Genma justru menyeringai—seperti biasa. Dibukanya bungkusan itu. Tujuh daging kepiting yang sudah dicacah dan satu potong ikan ukuran sedang disimpan dalam lapisan rumput laut yang mencegah makanan-makanan itu berhamburan ke air lepas. Dia berbisik pada Tabitha dan Rira. “Sikap pangerannya kumat lagi, rupanya.”

ElementbenderWhere stories live. Discover now