84: The Dark Ascent

832 57 23
                                    

Mereka sudah satu setengah jam berjalan. Mungkin lebih.

Terowongan bawah laut itu seolah tidak ada habisnya. Lurus dan tanpa cabang—dan gelap, seolah siapapun yang dulu pernah menggunakan gua ini tidak pernah repot-repot memasang lampu untuk aktivitas mereka. Sumber penerangan yang tersisa sekarang hanya berasal dari tangan-bersaput-conchella Tabitha, dan itu pun cahayanya semakin menipis. Ketujuh pengembara itu tahu bahwa mereka tidak bisa terus-terusan seperti ini selamanya. Harus ada sesuatu.

Tabitha, yang masih memimpin paling depan, mengoleskan sisa cairan conchella ke kedua tangannya dan berkata pelan. "Kalau lihat conchella lagi, beri tahu aku."

Tidak ada yang menjawab.

Sang gadis air menghela napas. Dipeluknya bahu tanpa sadar, menggigil setengah mati. Suhu di tempat ini berbeda drastis dengan di laut hangat Lunaver. Gaun pemberian Ayumi menggantung lemas di tubuhnya, berkibar-kibar seperti bendera. Setidaknya ia tidak memakai selimut rumput laut itu lagi.

Aku harus bicara apa sekarang? Hanya begini saja, selesai, setelah itu pulang....

Ia benci situasi ini. Tabitha, seseorang yang suka berpikir dalam-dalam (dan aneh-aneh), lebih merasa tenang kalau ada suara lain di sekelilingnya—meskipun itu hanya suara halaman buku dibalik, atau samar-samar keributan para koki di dapur. Gua ini, bahkan meskipun familiar, hanya menyajikan gema air yang itu-itu saja dan suara hantu laut. Mencekam. Membosankan.

Setidaknya mereka sudah satu setengah jam berjalan. Mungkin lebih. Setidaknya ia masih bisa menggunakan kata 'setidaknya' untuk situasi mereka yang tidak jelas juntrungannya ini.

"Bicarakan sesuatu lagi, yuk," kata Higina tiba-tiba. Sepertinya gadis itu lebih membenci keheningan gua daripada dirinya, padahal Gaelea sendiri penuh terowongan. "Ada yang punya ide?"

Dalam keadaan biasa, Tabitha akan langsung nimbrung. Namun saat ini ia lebih memilih diam.

"Kita masih belum punya senjata, Higina," tanggap Sakura. "Tapi tempat ini tidak seburuk yang kukira, sih. Kecuali tekanan air tadi.... Menurutmu bagaimana?"

"Hei!" Genma menyela. "Kalau kau belum punya senjata, terus tali di lehermu itu apa?"

Sakura refleks menyentuh benda yang kini melingkar di bahunya tersebut. Hanya beberapa meter tali, dipinjamnya dari rumah Ayumi. Sang gadis angin mengangkat bahu. "Untuk mengikat mulutmu kalau sudah kebanyakan bicara, Genma."

"Oh-ho..., jadi kau mulai berpikiran ke situ, ya?"

"Teman-teman, aku bilang bicara, bukannya bertengkar. Iih!" gerutu Higina keras-keras, secara efektif membungkam mulut kedua temannya. "Kalian lupa, ya, kita ada di mana? Tempat tergelap se-Evaliot, sampai-sampai melihat tanganku sendiri saja susah! Ugh!" lanjutnya. Sejujurnya, gadis itu benar. Cahaya conchella milik Tabitha memang tidak lagi memadai. Mungkin sebentar lagi gelap total—dan ia tidak suka itu.

Genma berkata pelan. "Tadi itu bukan bertengkar, tahu."

"Masa bodoh. Tabitha." Dialihkannya perhatian pada sang gadis air. Yang dipanggil segera menoleh. "Berapa lama lagi kita sampai? Ini sudah lumayan jauh, 'kan?"

Tabitha tidak langsung menjawab. Ia perlu berpikir sejenak; kalau Maliveris ada di sebelah sana dan pintu gerbang Muiridel ada di sebelah sini.... Apabila mereka melalui jalan "normal", ke Gedung Maliveris perlu beberapa jam, atau setidaknya dua jam naik kereta biasa, dan beberapa puluh menit dengan kereta ekspres. Apabila melalui jalan pintas seperti ini, waktu yang ditempuh hanya dua jam berjalan kaki. Setidaknya, itu menurut ingatannya sendiri. "... Setengah jam lagi, kalau aku tidak salah. Kalian masih kuat, 'kan?"

ElementbenderWhere stories live. Discover now