48: Disturbances

1.9K 75 1
                                    

Kolam kecil itu benar-benar indah.

Bukan jenis keindahan yang dipikirkan kebanyakan orang, sebenarnya. Kolam itu biasa-biasa saja, tidak ada semak-semak bunga berwarna cerah di pinggirnya atau teratai yang mengambang di atasnya, batu-batuan di dasar kolam itu juga terlihat biasa. Namun airnya begitu jernih sampai-sampai mereka bisa melihat ikan yang berenang-renang di dalamnya, dan bagi Tabitha, itu lebih dari cukup.

Sakura berbalik ke arah Genma dan memelototinya sesaat. “Siapa yang mandi duluan?”

“Kalian,” gerutunya pasrah, mengedikkan bahu. Merujuk pada Sakura, Ayumi, Higina, dan Tabitha.

“Berbalik.”

“Kenapa?”

“Karena kami bukan laki-laki, tentu saja.”

Genma menyeringai sekilas, memahami maksud Sakura. Dipukulnya bahu Takumi dan Rira sambil tersenyum penuh arti. “Aku bisa tutup mata.”

“Berbalik, tutup mata, dan sembunyi di belakang semak itu, ya?” Ayumi menengahi. Ia merinding begitu merasakan angin dingin berhembus dari tubuh Sakura, pertanda gadis itu mulai marah. “Ya?” ulangnya.

Ada untungnya juga kolam yang lebih mirip danau kecil itu dikelilingi semak-semak berduri yang tingginya hampir menyamai Ayumi. Orang-orang bisa mandi di sana dengan aman, karena semak-semak tersebut bersikap seperti dinding yang membatasi antara kolam dengan areal hutan. Tidak ada yang bisa mengintip mereka dari kejauhan—kecuali, yah, kalau si pengintip terbang lebih tinggi demi melihatnya tanpa harus mendekat. Dan Genma bukan tipe orang yang seputus asa itu. Kalau dia mau mengintip teman-temannya mandi, pemuda itu tinggal berjalan mendekati kolam.

Dan kalau Genma melakukan hal tersebut sekalipun, Higina sudah siap dengan kapak perangnya.

“Oke,” kata Genma akhirnya. Ia mundur beberapa langkah, tangannya menepuk bahu Takumi dan Rira keras-keras, mengajak mereka mengikutinya.“Hati-hati. Seorang falcon bisa memergoki kalian sewaktu-waktu.” Pemuda itu mengangkat bahu. “Tidak banyak orang yang bisa kita percaya di tempat ini.”

***

Para pengawal berseragam merah sudah bersiaga di depan pintu masuk hutan. Mereka menaiki kuda terbaik dari manor dan membawa senapan yang sudah diisi penuh. Tinggal menunggu aba-aba dari sang pemimpin, dan mereka akan langsung memasuki hutan. Mengawal Űbeltat yang berburu kijang seperti biasa.

Űbeltat berada di atas kuda putih kesayangannya. Busur dan panahnya disimpan di salah satu kantung pelana, sementara sebotol air disimpan di kantung satunya. Pria itu masih memakai rompi hitam berpita dan pakaian kebesarannya yang berwarna putih, dengan kerah dan lengan berenda-renda. Sepasang matanya terbingkai topeng emas yang menghalangi siapapun melihat bentuk matanya dengan jelas. Para pengawal menyarankan agar topeng setengah wajah itu dilepas, tetapi Űbeltat hanya menggeleng dan tertawa.

Pria itu masih muda, sekitar 210-tahunan, wajahnya tirus dengan kerut-kerut samar di sekitar bibirnya yang cokelat gelap. Matanya hitam kelam, kharismatik dan menakutkan sekaligus. Rambutnya pirang dengan garis-garis kecokelatan, tersibak rapi di belakang telinganya. Ada daya tarik tersendiri ketika ia mulai berbicara. “Siap, Komandan?”

Sang komandan, yang berpakaian terlalu necis untuk sekadar berburu, menjawab dengan takzim. “Kami siap apabila Anda sudah siap, Milord.”

Űbeltat memicingkan matanya ke arah hutan, mencari-cari perasaan janggal yang dirasakannya kemarin malam. Dia masih di sini—tapi di mana? Űbeltat mengeratkan pegangannya pada tali kekang kuda. Siapapun orang itu, dia pasti bisa diusir dengan mudah. Toh ada sepasukan pengawal bersenjata lengkap di belakangnya. Dan apabila itu belum cukup, Űbeltat sendiri punya senjata.

ElementbenderWhere stories live. Discover now