94: Face of a Goddess

657 33 11
                                    

Happy new year! Dan maaf karena saya lagi-lagi lupa ngepublish kemarin.

.

"Gempa itu gara-gara kau," Tabitha mendesis, mata silvernya menyipit tajam.

Madam Lois masih terkapar di lantai. Punggungnya menempel rata dengan permukaan marmer, sementara ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman sang gadis air. Berani-beraninya perempuan itu mencekiknya. Hanya karena sebuah gempa-yang benar saja?

"... Demi... Muiridel... juga," bisiknya, tercekat. Ia tidak butuh bernapas seperti makhluk non-ilusi, tetapi berbicara juga butuh suplai udara yang cukup-yang tidak didapatkannya sekarang. Tabitha justru mencekik lebih kuat. Sebelah tangan mengacungkan ujung tombak ke arah dadanya.

"Demi Muiridel apa? Teritori ini rusak, Madam!" sang gadis air berteriak. Sejurus kemudian, pengendali pengganti tersebut gantian memekik. Semburan rasa sakit meninjunya tepat di jantung saat mata tombak tersebut menghunjam pangkal lehernya, menembus tepat ke lantai. Sang Madam terperangah. Berani-beraninya perempuan ini memperlakukannya seperti ikan dipaku ke muka papan-seorang Madam, yang keanggunan dan kecantikannya mampu menandingi seluruh wanita di Evaliot dijadikan satu. Seorang Lois.

Satu tusukan saja tidak dapat membunuhku, gadis payah.

"Lihat sekelilingmu!" teriak Lois, pias. Meskipun tidak ada yang bisa dilihat kecuali berbaris-baris kursi kosong. Belum. "Aku? Merusak Muiridel, katamu? Tempat ini jauh lebih baik dibandingkan saat kau berkuasa! Mau bukti?"

Tabitha tidak menjawab, tetapi sang Madam tidak peduli.

Tanpa diduga-duga, sang wanita menjambak keseluruhan wajah sang gadis air dengan satu tangannya-lapisan selaput di antara jemarinya menutupi mata gadis itu dengan sempurna. Dikirimkannya bayangan tentang Muiridel sebanyak yang ia bisa. Wajah-wajah bahagia para duyung, pusat Fabula yang ramai dan berkelas. Malam-malam penuh petualangan di manor para pengendali air. Dibuatnya bayangan-bayangan tersebut senyata mungkin, sepalsu mungkin. Gadis tolol seperti Tabitha tidak akan tahu bedanya.

Teriakan panjang memenuhi seisi aula. Sang Madam melepaskan tangannya, menyeringai puas. Air mendidih kini memenuhi kepala sang gadis air. Membakarnya dari dalam, membuatnya buta sejenak.

Ini kesempatannya.

Dikonsentrasikannya energi air di kedua tangan. Dengan cepat, tubuh sang gadis terlempar ke atas, tertahan oleh energi elemen tersebut. Sang Madam belum juga puas. Diputarnya tubuh lemas Tabitha berulang-ulang hingga sepusaran air ganas melingkupi gadis itu. Rasanya seperti bermain dengan boneka perca-sang Madam tertawa terbahak-bahak.

Boneka perca tersebut terbanting keras ke dinding ruangan, sebelum jatuh ke lantai layaknya ikan yang terdampar ombak.

Tabitha terkapar untuk beberapa lama. Tidak bergerak.

"Aww, kehabisan tenaga, ya?" ejek sang Madam. Setelah mencabut tombak tersebut dari lehernya, ia berenang menghampiri sang gadis, memerhatikan lawannya tersebut. Kulit Tabitha nyaris terkelupas akibat air mendidih. Rambut hijau pendeknya-atau mungkin hanya cat-mengambang di atas kepalanya, seperti rumput laut mati.

Kasihan.

Setidaknya, sampai sang gadis mengangkat wajah dan menatap wanita itu tajam. Lois terkesiap, tidak dapat menyembunyikan kekagetannya.

Mata gadis itu tidak lagi putih.

"Kau sebut semua ini lebih baik?" Tabitha mendesis serak. "Menjual anak-anak kecil? Perempuan? Menurutmu ini adil bagi mereka, hah? Kau sendiri seharusnya tahu bahwa kita bukan alat tukar, Madam!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang