65.1: Revelation

1.6K 75 0
                                    

 “Apa-apaan—“

Aloysius jelas bukan salah satu falcon atau makhluk dari ras lainnya, tetapi memiliki dua kancing sebagai ganti sepasang mata lebih dari tidak masuk akal.

Bagaimana caranya dia melihat sebelumnya? Pria itu bisa berjalan normal dan serangannya akurat. Bukan. Aloysius sama dengan elf boneka itu—sesuatu yang tidak ia pahami.

Sesuatu yang tidak ia pahami itu mengangkat wajahnya.

“Aku tidak mati semudah itu, Genma,” suaranya lebih menyerupai desisan ketika ia berbicara. “Tidak bisa. Aku akan menghilang, dan muncul lagi—di tempat lain.”

Aloysius telah berubah. Suaranya melunak, nyaris tidak terdengar. Ekspresi kejam di wajahnya menghilang. Ia lebih terlihat seperti teman yang tersesaat dalam pikirannya sendiri, kejahatan-kejahatan yang pernah ia lakukan, dan kini membutuhkan bantuannya. Genma tidak mudah terpancing oleh sikap lembutnya yang mendadak. Masih ada yang ingin ditanyakannya.

Kancing itu mengingatkannya akan satu kata.

Voodoo.”

“Yah. Voodoo. Aku menyakiti orang-orang.” Aloysius tersenyum pahit. “Kau tidak mengerti.” Kelopak matanya terpejam sesaat, mengerut—sesaat wajahnya terlihat seperti pria tua. “Semua orang, termasuk Mildgyd dan Mildred.  Di....”

Ia melanjutkan kalimatnya dengan tertawa.

Genma mengerutkan kening. Pria ini... sekarat? Setelah ditendang olehnya, bukan karena tusukan pedang? Ia tidak mengerti. Diperhatikannya pedangnya sendiri. Bercak darah Aloysius telah mengering di bilahnya, menutupi hampir di semua tempat—bahkan gagangnya pun terkena cipratan darah. Ada yang salah dari darah tersebut. Baunya... lain.

Semacam bau memuakkan darah yang familiar, ditambah bau lain. Jerami, kain, pasir... dan bau keringat biasa.

“Kau bukan makhluk hidup,” gumam Genma.

Aloysius tertawa pelan. “Seharusnya bukan.”

Genma melangkah mundur, tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Membakarnya? Dengan senang hati. Namun ia tidak bisa begitu saja membakarnya hidup-hidup, apalagi di manor-nya sendiri. Aloysius menggeliat pelan. Pria itu menatapnya dengan wajah tertengadah, tangan kiri diulurkan kepadanya.

“Buat apa?”

“Tolong... aku.”

Pria itu menunduk sejenak. Ia batuk-batuk, kemudian memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Darah. Genma terkesiap.

Dia benar-benar sekarat rupanya.

Genma memindahkan pedang panjangnya ke tangan kiri dan mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu sejenak. Benarkah ia melakukan hal yang tepat? Sepertinya tidak. Aloysius bisa melompat dan menyerangnya balik—dan saat itu terjadi, ia sudah siap.

Namun Aloysius hanya menangkap uluran tangannya dan mencengkeramnya erat. Pria itu mulai bangkit, menjadikan tangan Genma sebagai pegangan.

“Terima kasih.”

 “Sama-sama... entahlah.”

Tiba-tiba—tepat seperti dugaannya—Aloysius melompat. Tangannya yang berkuku setajam cakar mencengkeram tangan Genma, keseluruhan lengan Genma, setiap cakarnya merobek lengan pakaian pemuda itu dan menancap di kedalaman kulitnya. Genma berteriak spontan, terkejut menyadari rasa sakitnya. Pria sialan itu mendesis. Tangan kirinya berhasil menangkap bahu, kemudian leher Genma. Dicekiknya leher pemuda itu dan diketatkannya jemari tangannya, tidak membiarkan pemuda itu lolos sejengkal pun. Genma terbatuk-batuk, napasnya tertahan di tenggorokan. Kedua sayapnya menggelepar-gelepar dan lututnya menendang-nendang perut pria itu, sementara mulutnya menarik-dan-membuang oksigen dengan panik. Dalam beberapa detik, kepalanya mulai pusing. Aloysius mengeratkan cengkeramannya. Sepasang mata kancingnya berkilat-kilat.

ElementbenderWhere stories live. Discover now