28: An Unpleasant Visit

2.3K 106 0
                                    

Katerina berhenti di depan sebuah pohon apel raksasa dan mulai mengangkat tubuhnya ke atas, dengan sayap capungnya.

Hanya Tabitha yang sayapnya cukup sehat untuk dikepakkan. Sisanya terpaksa memanjat ke atas—termasuk Takumi, yang baru tiba beberapa saat kemudian—dan mereka jarang memanjat sebelumnya. Higina harus melepas sandalnya agar bisa naik. Untung saja pohon ini berpijakan.

Rumah pohon ini terlalu luas untuk ukuran markas persembunyian anak-anak, tetapi terlalu kecil untuk ukuran rumah biasa yang dilihatnya di Gaelea. Kerangkanya terbuat dari kayu terbaik dan ada ukiran minimalis di pagar pembatas antara teras dan udara bebas. Pintu masuknya dipoles dengan cat transparan, mengilap, dan berbau polimer. Jarak antara lantai teras dengan langit-langitnya lumayan tinggi, sehingga mereka bisa berjalan leluasa tanpa harus menunduk.

Terlalu tinggi, malah, pikir Takumi, saat ia mencoba menyentuh atap teras dengan ujung jari tengahnya. Orang-orang bertelinga runcing itu juga tinggi-tinggi...

Katerina sedang berdiri di depan pintu, memberi isyarat pada ketujuh tamunya agar bersabar, kemudian menarik napas.

“Ta—kh!” seru anak itu, mengayun-ayunkan pengetuk pintu.

Terdengar suara langkah sandal kayu, dan pintu rumah pun terbanting ke belakang.

“Ukh!” sapa Katerina. 

Ayah Katerina sendiri yang membuka pintu. Seorang elf berwajah tirus, dengan kulit sewarna kayu, dan bertubuh sangat jangkung.

Pria tersebut tidak menghiraukan sapaan anaknya. Tatapannya mengarah lurus kepada tamu-tamunya; sebelah tangan bergerak menggaruki belakang kepala. Berbeda dengan gadis kecilnya yang berambut hitam lurus, rambut sang ayah berwarna cokelat, pendek, tidak terurus dan mencuat-cuat seperti ranting pohon mati. Sepasang matanya menatap keenam pengendali beserta sang pangeran tanpa berkedip. Ekspresi marah pun terbentuk di wajahnya.

“Ilusi yang bagus, Tuan, tetapi Clair dan anak perempuannya tidak akan terpengaruh lagi. Katerina, apa-apaan ini?”

Katerina merengut. Meskipun ia tidak bisa mendengar satupun perkataan ayahnya, ia bisa membaca apapun dari ekspresi tersebut.

Ayah Katerina beralih pada ketujuh orang yang ia panggil ilusi. Masih menatap mereka dengan tajam. “Mau apa, hah? Mata-mata Grey Froth? Maero? Tentara? Hantu?” Dikibaskannya tangan dalam gerakan mengusir. Ketujuh orang tersebut mundur ke belakang. “Jangan ganggu Katerina juga. Apalagi memberinya harapan kosong. Nah, kau,” ia beralih pada gadis kecilnya. “Sang pangeran sudah mati, Katerina; para pengendali sudah melupakan kita. Masuk ke kamarmu, atau hangatkan sup di meja.”

Didorongnya Katerina masuk ke dalam rumah. Anak itu menurut dengan setengah hati. Sebulir air mata menitik di pipinya.

Keenam pengendali elemen bertukar pandang satu sama lain, tatapan mereka kurang lebih mengatakan, “orang ini bicara apa, sih?”—karena pria itu melihat ke arah mereka seolah-olah dia baru saja melihat parade mayat hidup. Genma yang menyadari kesempatannya bicara, berdeham keras.

“Tuan—dengarkan. Memanggil para pengendali elemen dengan sebutan apapun itu diperbolehkan. Tapi memanggil seorang pangeran dengan panggilan yang tidak semestinya adalah pelanggaran federal,” katanya diplomatis. Ditepuknya punggung Takumi keras-keras hingga pemuda itu mengangguk. Padahal dia tidak mengerti apapun tentang pelanggaran federal. 

“Boleh kami masuk? Berkunjung? S-sebentar saja?” tanya Ayumi sopan—sekaligus mengiba. Ia sadar bahwa berdiri terus-terusan, mendengarkan seorang elf menceracau soal ilusi dan seorang pengendali api menjelaskan soal hukum politik membuatnya terlihat seperti gadis bodoh. Ditambah lagi, dia hanya ingin terlihat berani di hadapan teman-temannya, bukan hanya menonton dari kejauhan.

Ayah Katerina tertegun. Pria itu pun bertanya hati-hati.

“Kalian bukan halusinasi kami?”

Hanya Sakura yang mengangguk mendengar pertanyaannya, mewakili semua orang di sana—tetapi itu sudah cukup.

“Perkenalkan,” gadis itu mengangsurkan tangannya. “Nama saya Sakura Hayai. Bukan ilusi. Nah, Anda pasti sudah tahu.”

Ayah Katerina menyambut uluran tangan Sakura dan mengguncangkannya pelan. Wajah cokelatnya memerah ketika ia berdeham, kemudian memperkenalkan dirinya. “Clair. Yang tadi bersama kalian itu Katerina. A-Anda Fairy Mistress... sungguhan. Ya, ya. M-maafkan kelancangan saya, Milady.”

“Dan kelima pengendali elemen lain,” timpal Higina. Direngkuhnya keempat temannya yang lain—Genma, Rira, Ayumi, Tabitha—dengan dua tangan sekaligus. “Kami sudah pulang. Membawa sang pangeran.”

“Dan segudang masalah,” desis Takumi kesal. Ia benci setiap kali para pengendali (atau, di pikirannya, enam remaja sinting) memperkenalkannya seperti memperkenalkan hadiah. “Dan kami membawa—“ atau “dan dia Pangeran—“. “Aku bisa memperkenalkan diri sendiri, ‘kan? Jangan anggap aku anak kecil.”

Higina mengerutkan kening. “Kami meng—“

“Namaku Takumi,” tandas Takumi pada Clair, yang kini mempersilahkan mereka masuk. “Dan jangan panggil aku Pangeran.”

Keenam pengendali elemen bertukar pandang. Mereka mempersilahkan sang pangeran masuk terlebih dulu.

“Sifat asli sang Takumi Kuro,” bisik Genma pelan, kepada teman-temannya, saat Takumi tidak memerhatikan. Senyum penuh arti terukir di wajahnya. “Teman kita yang hilang, sudah kembali.”

***

Katerina sudah menyelesaikan tugasnya di dapur. Menghangatkan sup, memotong-motong sebongkah roti menjadi sepuluh kerat, dan memasakkan air untuk sang ayah tercinta. Supnya mulai mendingin. Katerina cepat- cepat menaruhnya di atas kompor, kemudian menyalakan api lagi.

Tercinta... paling tidak, kalau sedang tidak marah-marah, gadis kecil itu mencibir. Segumpal kegetiran menggantung di hatinya. Andai ia bisa bicara....

Sang pengendali yang baru memberikan ayahnya apapun yang ia butuhkan. Stok bahan makanan yang cukup untuk melewati musim dingin, harta benda yang tidak sedikit, dan pintu rumah yang layak. Namun, pria itu meminta ibunya sebagai ganti. Ibunya yang baik dan ulet, yang lebih disukainya daripada sang ayah. Para elf wanita dikirim ke istana sebagai... sebagai apa?

Katerina memikirkan berbagai kemungkinan. Dan semua kemungkinan itu membuatnya merinding.

“Rina!” teriak sang ayah—tidak, ia tidak mendengar sang ayah memanggil, ia hanya tidak sengaja menoleh ke arah ruang tamu dan melihat mulut ayahnya bergerak-gerak seolah meneriakkan kata “Rina”. Dia biasa dipanggil Kat, Rin, atau Rina karena nama aslinya terlalu panjang. Katerina lebih suka dipanggil Rin. “Rina! Buatkan teh untuk tamu-tamu kita!”

Kali ini, ayahnya melihat Rin di dapur yang hanya mematung menatap meja ruang tamu, kemudian berteriak sambil mengirimkan isyarat. Kurang efektif. Rin akan menjawab “Ya, Ayah!” seandainya ia bisa bicara.

Dengan sigap, ia mulai membuat teh; secangkir demi secangkir. Taruh daun teh, taruh air panas. Gerakan-gerakan monoton dan berulang-ulang seperti itu selalu membuatnya bosan. Benaknya melayang ke mana-mana. Tamu-tamu—ketujuh orang itu?

Berarti ia harus membuat sembilan cangkir teh. Rin juga ingin minum teh di samping ayahnya. Meskipun kemungkinan ayahnya tidak mengizinkan...

“Rin! Cepat!” Dengan bahasa isyarat juga. Sang ayah mengejakan ‘R-I-N’ untuknya, dari jauh.

Akhirnya, panggilan yang ia inginkan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now