72: Of Knives and Roses

1.5K 83 9
                                    

Yang pantas mati memang akan mati. Yang pantas mati memang akan mati.

Hajime memikirkan kalimat itu berulang-ulang. Apa Pangeranugh, dia bukan pangeran lagi sekarang—Takumi pantas mati? Yah, mungkin iya. Takumi adalah mantan pangeran yang licik yang tidak menyadari seberapa liciknya dia. Takumi telah menghancurkan hidup ayah tercintanya.

Setidaknya dia sudah mati.

Hajime menatap lukisan seukuran dua kali tinggi tubuhnya itu dengan curiga. Lukisan itu terpasang di dekat pintu menuju ruang makan yang luas; bersama-sama dengan ayah dan ibunya—Raja dan Ratu yang lama. Aneh juga Denki tidak mencabut lukisan itu, padahal Hajime tahu seberapa bencinya sang ayah terhadap keluarga kecil ini. Kepala mantan pangeran, mantan ratu, dan mantan raja tersebut telah dirobek—menyisakan bagian tubuh mereka dari bahu sampai kaki.

Dialihkannya tatapannya ke arah jendela. Melihat potret Takumi lama-lama membuatnya muak. Potret itu membangkitkan rasa bersalahnya, yang selama ini tersembunyi rapi dalam—

—aku tidak bersalah! Dia yang salah!

Pemuda itu mendadak ketakutan. Bahkan tanpa perintah dari otaknya, sepasang sayapnya segera mengepak membelah udara; membawanya ke sebuah tempat yang ia harap bisa menenangkannya. Dadanya seolah akan meledak oleh perubahan tekanan yang tiba-tiba. Namun Hajime tetap memaksakan diri.

Dia akan ke kamarnya. Ya. Mengurung diri di sana, mencoret-coret meja tulisnya dengan pena tinta darah falcon.

Sementara telinganya mulai berdenging karena terbang terlalu cepat, sebuah kemungkinan mengerikan mulai mencakar-cakar dadanya.

Dia belum mati dia belum mati dia belum mati dia belum MATI!

Ia melewati ruang tengah, koridor sayap selatan, ruang dansa, dan akhirnya kamarnya sendiri. Hajime melemaskan sayapnya ke punggung, setengah menghempaskan tubuhnya ke lantai. Ia telah sampai.

Harus bunuh dia lagi.

Hajime terus mengingatkan dirinya sendiri sementara ia membuka kunci pintu kamarnya, melangkah masuk, mengunci pintunya kembali, segera menghambur ke bawah lemari pakaiannya dan menyambar sebuah pisau dapur murahan dari sana. Pisau itu membaur bersama sosoknya yang tidak kasat mata setelah ia berkonsentrasi sebentar.

Dia masih hidup. Aku harus membunuhnya lagi, Tou-sama. Demi—

Gerakannya terhenti.

Ada benda-benda lain di sana, selain debu dan sarang laba-laba. Segulung surat dan sebuah... apa?

Hajime tertegun, sementara telunjuknya menyentuh benda-benda tersebut dan mulai berkonsentrasi lagi. Ia perlu melakukannya sebelum bisa memegang sesuatu, seperti kertas dan pena tersebut; kalau tidak, tangannya hanya akan melewati itu semua seperti udara tipis. Ketika ia akhirnya bisa merasakan teksturnya, ditariknya benda-benda tersebut lebih dekat.

Surat itu berbau darah falcon. Hajime membuka gulungannya dan mulai membaca.

Ini "anak"-mu. Bangkitkan dia kapan pun kau mau.
Tapi dia terlalu terpaku dengan "ibu"-nya. Beritahu dia bahwa dia tidak punya ibu, siapapun itu.
Dia bisa makan tapi tidak membutuhkannya dalam jumlah banyak, tidak bisa bereproduksi, bisa merasakan cinta, dan hanya akan setia padaku kalau kau juga setia padaku.
Kalau dia mati, dia akan kembali ke sini. Bangkitkan lagi kalau harus.
Dia akan hilang selamanya kalau benda pengikatnya dimusnahkan setelah kau mati, jadi berhati-hatilah. Jauhkan dari jangkauan siapapun—dari aku sekali pun.
Lenyapkan surat ini setelah kau selesai membacanya.

ElementbenderWhere stories live. Discover now