22.1: Okuto

2.6K 133 2
                                    

“Sudah jam berapa sekarang?” celetuk Takumi.

Keenam temannya mengangkat bahu. Mereka mendongak menatap langit ungu gelap tanpa bulan yang hanya memberikan sedikit penerangan sebagai pemandu jalan mereka. Bintang-bintang bertaburan di atas sana, beberapa memiliki kerlipan cahaya biru terang dan oranye—tetapi tidak cukup terang untuk menyinari Gaelea di waktu malam. Samar-samar, suara dengkung katak dan derikan jangkrik terdengar. Andai Takumi membawa senter sebelum melompat ke dalam portal...

Satu persatu dari mereka mulai mendekap tubuh masing-masing. Udara sebeku es berhembus pelan, menghantam kulit mereka. Dingin sekali di sini—jauh lebih dingin dari yang mereka kira—untunglah ada jubah itu. Takumi terbatuk-batuk.

“Sampai kapan kita harus berjalan?” ia bertanya lagi. Pemuda itu malu juga bertanya terus-terusan.

“Sampai... lihat saja nanti, Yang Mulia,” jawab Tabitha.

Takumi merapatkan jubahnya sambil terbatuk-batuk lagi. Ketidaknyamanan—dan udara dingin menusuk tulang—masih menggeliat-geliat di dadanya, tidak mau hilang. Otaknya dipenuhi pertanyaan. Seberapa muliakah sang “Pangeran” ini? Menurut pengamatannya, para pengendali cukup aneh. Mereka gabungan antara orang bijak yang cerdas, remaja muda yang sinting, dan... sekumpulan orang yang seolah hidup beratus-ratus tahun lamanya. Mereka menyindir dan menertawai satu sama lain, bukan sekumpulan remaja tanpa emosi dan ekspresi seperti yang ia kira—bahkan Rira yang pendiam pun tidak sekaku dugaannya. Lalu, apa hubungannya “Pangeran” terhadap mereka semua?

Dipanggil “Yang Mulia” dan disebut “Pangeran Takumi” bukan apa yang ia harapkan.

“Melamun lagi, Yang Mulia?” sebuah tepukan keras di punggungnya menarik Takumi kembali ke dunia nyata. “Itu bagus. Sebelumnya, Anda sering—“

“Aaaaah...!”

“—melamun,” Genma menyelesaikan kalimatnya cepat-cepat.

Teriakan itu berasal dari seorang anak kecil, terduduk di atas tumpukan kayu sambil menangis sekeras-kerasnya, jelas-jelas ingin seseorang melihatnya. Mereka baru melihat anak itu setelah beberapa langkah mendekat. Wonder Lea memang berkabut pada waktu malam, dan tahu-tahu mereka sudah berada di antara patung-patung batu itu.

Seorang anak laki-laki berambut pirang keemasan mengaduh dan merutuki dirinya sendiri, memegangi lututnya dengan sebelah tangan sementara tangan yang satunya menarik rambut pirangnya keras-keras. Wajahnya bulat menggemaskan dan kulitnya pucat, seputih kertas—atau mungkin itu hanya ilusi langit malam. Higina melonggarkan cengkeramannya pada jubah dan bergegas mendekati anak itu.

“Kenapa tidak di rumah saja?”

“Aaaaah...!” anak itu berteriak lagi, kali ini lebih keras. Tubuh ringkihnya nyaris terjatuh dari tumpukan kayu. Setelah melihat Higina, dia justru berteriak lebih keras lagi. “AAAAAH...! Pak Penjaga! MaafkanakuPakPenjaga tadiakuberteriakkarenapakuinimenusukkakiku tolongjanganlaporkanpadaArashi kumohonPakkalautidakakubisadipancung—aaaaaah!”

Anak itu terus meminta maaf dalam kecepatan yang tidak bisa dimengerti siapapun yang mendengarnya. Bahkan Sakura yang bisa berbicara cepat-cepat hanya menangkap kata “pancung”, dilanjutkan teriakan yang memekakkan telinga.

“Aku bukan pak penjaga!” tukas Higina lemah, dengan terpaksa melepas tudung jubah hijaunya. “Aku—uh, kami—yang jelas bukan pak penjaga. Ini sudah malam. Kenapa tidak di rumah saja?” Diliriknya sang pangeran dan teman-temannya. Mungkin anak ini masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa ia adalah Belle Natura, dan yang bersamanya adalah para pengendali elemen dan sang pangeran. Lagipula, langit sudah benar-benar gelap. Kabut yang beterbangan di udara membuat mereka terbatuk-batuk. Kabut kelabu pekat bercampur pasir dan serpihan batu.

ElementbenderWhere stories live. Discover now