52.1: Searching Genma

1.7K 74 0
                                    

Rira memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku pakaian, menjumput beberapa beri liar dari dalamnya, dan melemparkan beri-beri mungil itu ke mulut. Rasanya asam dan agak layu setelah dibiarkan mengering cukup lama, meninggalkan aroma mirip bir di mulutnya, dan tidak mengenyangkan. Metsuki bergelung manis di pundaknya, tidur sambil mendengkur. Ekornya yang berbulu kelabu menampar-nampar pipi Rira.

"Di mana kita?" suara lembut Ayumi memecah keheningan. Langkah mereka terhenti tiba-tiba.

"Pyrrestia, mungkin?" jawab Tabitha, mengedikkan bahunya. "Hanya Genma yang tahu tempat apa ini sebenarnya. Tapi, maksudku... dia pasti tidak tahu kalau kita ada di sini."

Pantas saja para falcon lebih memilih terbang daripada berjalan ketika harus melewati tempat ini. Dengan terbang, mereka bisa melihat jalan menuju pusat Pyrrestia dengan mudah. Sekarang, mereka terlalu lelah untuk mengepakkan sayap dan terbang. Panasnya udara dan laparnya perut memaksa mereka untuk turun dan berjalan perlahan-lahan, sekali lagi menggunakan kaki mereka yang pegal-pegal. Higina bisa menciptakan uang untuk ditukarkan dengan makanan yang lebih baik dari segenggam beri liar, tetapi hal itu akan menguras banyak tenaga.

Satu-satunya hal yang mereka tahu adalah tempat ini semacam pasar. Jenis pasar yang terdiri dari gang-gang sempit dan berliku-liku dan benar-benar mirip sebuah labirin raksasa. Kios-kios pedagang bercampur dengan pemukiman penduduk yang lusuh dan tak terawat. Bau ikan asin di mana-mana. Anak-anak falcon bermain lempar bola dengan riang di tengah jalan, meskipun terkadang bola itu terlempar ke atas atap rumah penduduk atau mengenai kepala seorang falcon yang lewat. Segalanya terasa... normal. Seolah-olah belum ada kerusakan sama sekali di tempat ini, berbeda jauh dengan Gaelea dan Etheres.

"Genma ada di dekat sini, pasti di sekitar sini," gumam Tabitha. Matanya melirik ke arah Sakura. "Para pedagang mungkin tahu jalan menuju... pusat Pyrrestia... alun-alun terdekat... atau apalah. Sakura?" panggilnya. "Menurutmu... bagaimana?"

***

 "Tidak punya uang, eh?" gadis muda itu menatapnya remeh sambil mengunyah-ngunyah kue kismis di mulutnya. Sebelah tangannya menahan bungkusan berisi sekerat roti panggang yang akan diberikannya pada Genma seandainya pemuda itu punya uang. Genma meraba-raba kantong pakaiannya, tetapi—tentu saja—tida ada uang di sana. Dengan putus asa, dikeluarkannya beberapa genggam beri liar yang dipetiknya tadi pagi dan ditaruhnya di atas konter kayu, di antara ia dan gadis itu. Mata si gadis muda terbelalak melihat beri-beri keriput tersebut, sebelah tangannya melepas genggamannya pada bungkusan.

"Astaga! Beri trăvitas!" serunya tertahan, menatap Genma dengan heran. "Silahkan, silahkan ambil ini, aku tidak butuh. Tapi yang ini... bayangkan sejuta manfaat beri kecil ini," dijumputnya segenggam beri trăvitas dari konter, mendekatkannya ke matanya, dan terlonjak lagi. "Asli. Di mana kau membelinya?"

"Beli?" Genma mengangkat alis, kemudian tertawa. Diambilnya sebungkusan roti panggang tersebut cepat-cepat, jaga-jaga kalau gadis itu berubah pikiran. "Aku memetiknya sendiri."

"Di mana?" sambar gadis itu, benar-benar antusias. Tangannya yang berkuku tajam mencengkeram pinggiran konter erat-erat, menggores permukaan kayunya.

Genma tercekat. Beri yang ia petik tadi pagi adalah trăvitas, salah satu jenis tanaman obat. Meskipun asam, para wanita menyukainya—katanya beri itu dapat mempercantik wajah. Hanya para pengendali elemen yang mengetahui di mana tepatnya tanaman trăvitas ditanam, dan merahasiakannya agar rakyatnya tidak menggunakan tanaman obat tersebut besar-besaran.

"... yang jelas bukan di sini," kata Genma akhirnya. Ia meninggalkan gadis itu bersama beri-berinya dan berjalan menuju pintu keluar. "Terima kasih buat rotinya."

"Tunggu dulu!" teriak si gadis muda. Genma berhenti tepat di depan pintu, mulai kesal. Ia mengedikkan bahu pada gadis itu, menanyakan "apa?" tanpa bersuara maupun menoleh. Gadis muda itu sedang mengumpulkan beri-beri pemberian Genma ke dalam kantung kulit kering dan mengikat ujungnya dengan tali. "Kau... semacam gelandangan, hah?"

"Kurang lebih, ya," jawab Genma cepat. Ada sensasi aneh sewaktu mengucapkannya. Ya. Seorang gelandangan di rumahnya sendiri.

Gadis itu terdiam sesaat. "Aku tidak bisa mempekerjakanmu di sini atau memberikan lebih banyak roti buatmu, tapi kalau kau mau mengantar upeti ke manor, mungkin aku bisa... memasakkan roti ekstra buatmu, sewaktu kau kembali." Ditunjuknya sebuah peti kayu di sudut ruangan. Peti kayu yang penuh dengan batangan emas. "Itu seperempat penghasilanku selama setahun, lho. Lumayan, 'kan?"

Genma tercekat lagi. "Bukannya ada petugas yang mengambil pajak?" Kemudian, seolah teringat hal lain, ia bertanya lagi. "Bukannya pajak hanya dibayar seperduabelas dari penghasilan setahun?" Siapapun yang menyuruh mereka membayar setinggi itu, pikir Genma, benar-benar bajingan brengsek.

"Dulu iya," jawab gadis itu. "Tapi semenjak Űbeltat berkuasa, jadi, yah... begitulah. Tidak. petugas pajak tidak akan datang pada cuaca seperti ini. Panas terik, lalu mendung, dan tiba-tiba panas lagi." Ia tertawa. "Kau aneh juga. Mengaku gelandangan tapi tahu tentang politik. Jadi, mau atau tidak?"

Pemuda itu terdiam sejenak. "Tidak."

"Oke," gadis itu mengangkat bahu. "Silahkan pergi. Hei, untuk ukuran gelandangan, kau lumayan juga."

Genma mengangguk cepat-cepat, melemparkan senyum tipis pada si gadis muda, kemudian buru-buru meninggalkan toko roti tersebut.

***

Tabitha mengintip dari balik atap, meneliti jalanan di depannya. Ia melayang di atas sebuah rumah kosong sementara kakinya nyaris tidak menjejak tanah... atau atap. Tangannya mencengkeram pinggiran atap yang bergerigi agar tidak terpeleset. "Itu dia! Kita sampai!"

Sakura terbang mendekatinya. Rambut keemasannya bertiup ke arah wajahnya, menyelimuti pipinya yang tirus. Ia sudah bosan. "Sampai di mana kita, hah? Kelihatannya masih sama saja."

Tabitha mengedikkan sayapnya. Ia tidak peduli di mana mereka sekarang. Yang jelas, mereka sudah terbebas dari labirin tanpa ujung yang berbau ikan asin dan sebentar lagi akan memasuki bagian yang sebenarnya dari Pyrrestia. Di balik atap rumah ini, terdapat alun-alun kota yang ramai dan mengundang. Alun-alun yang dipenuhi orang-orang dewasa yang sibuk berseliweran ke sana-ke mari dan anak-anak yang sibuk bermain lempar-tangkap bola di udara. Tabitha berbalik menatap Sakura, sebelah alisnya terangkat. Tatapannya beralih pada Higina, Ayumi, dan—yang paling tidak ingin ia tatap lama-lama—Rira. Sudut-sudut mulut sang gadis air melengkung ke atas.

"Di bawah sana, teman-teman. Genma ada di sana, pasti. Di mana lagi?"

ElementbenderOnde histórias criam vida. Descubra agora