63.2: A Fair Bargain, A Fair Play

1.6K 78 0
                                    

Genma terbatuk-batuk ketika akhirnya Aloysius melepaskan cengkeramannya.

Pria itu baru saja mencekiknya, dan bisa membunuhnya saat itu juga. Tenaganya tergolong kuat dan cengkeraman jemarinya menyakitkan. Genma terbatuk-batuk lagi, melicinkan tenggorokan. Topi tinggi hitamnya terpasang miring di atas rambut merahnya yang acak-acakan.

Aloysius mendecih. Dipindah-pindahkannya bola meriam dari satu tangan ke tangan lain.

"Teman-temanmu ada di bawah, 'kan?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya datar dan tanpa semangat, tidak menginginkan jawaban dari lawan bicaranya. "Mereka tidak akan menyelamatkanmu sekarang. Jangan banyak berharap, Genma."

Genma mengalihkan kepalanya pada pemandangan di luar jendela raksasa, berpura-pura bersikap serius dengan menatap ke arah halaman manor, meskipun sebenarnya bersusah-payah menahan tawa. Menyelamatkan, katanya? Ia tidak perlu diselamatkan. Tangan dan kakinya bebas dari jeratan tali, ia punya senjata, dan satu-satunya ancaman di menara ini adalah Aloysius. Ia bisa menyelamatkan diri sendiri. Paling tidak, berusaha menyelamatkan diri sendiri.

Aloysius berbalik. Genma menoleh, memerhatikan pria itu berjalan mendekati meriam raksasa di tengah menara, sesekali mengumpat pelan. Dia membungkuk, membuka kenop di bagian belakang meriam, sementara sebelah tangannya merogoh sesuatu dari dalam kantong rompinya. Segenggam kecil bubuk mesiu. Genma memucat. Dikeluarkannya pedangnya yang paling panjang, bersiap menyerang, tetapi Aloysius menggeleng. Pria itu menegakkan tubuhnya.

"Perjanjiannya," katanya singkat. "Teman-temanmu terjebak di bawah sana, bersama seratus 'mayat hidup' lainnya. Semua pintu terkunci, semua jendela dijeruji. Tapi kau di sini, bisa kabur kapanpun kau mau," ia melirik jendela raksasa itu. "Hrodgar bisa membukakan satu pintu untuk mereka, tapi hanya dengan perintahku." Senyum tipisnya muncul sesaat, kemudian menghilang. "Dan aku tidak menolong tanpa imbalan."

Genma terkesiap. Bagaimana caranya Aloysius mengubah seratus hadirin pesta menjadi seratus mayat hidup? Bukan urusannya. Yang perlu ia pikirkan sekarang adalah teman-temannya. Bisakah mereka bertahan hidup—paling tidak untuk sementara, sampai ia kembali?

Untuk pertama kalinya, batinnya dihinggapi keputusasaan.

"Apa imbalannya?" tanya Genma akhinya, memaksakan suaranya agar tetap terdengar tegar. Aloysius tersenyum sekilas. Ia menimang-nimang bola meriam itu di tangannya, mengarahkannya ke cahaya di luar jendela, membiarkan permukaannya yang hitam berkilau keperakan. Ia berdeham.

"Hanya satu tembakan, untuk Etheres," jawabnya. Tatapan mata kelamnya mengarah lurus ke luar jendela. "Satu tembakan kecil. Di mana tepatnya kau harus menembak, itu urusanmu."

"Tapi dia sudah mati, Alois," Genma tertawa gugup. Paling tidak, ia berharap elf boneka itu sudah mati. "Percuma. Boneka-bonekanya lenyap; tidak ada siapapun di sana kecuali para elf yang sejati. Coba tempat lain." Sedetik setelah mengucapkan kalimat terakhir tersebut, Genma mengerutkan kening. Tolol. Bukannya melindungi dunia elemen, ia malah membantu pria sinting ini.

Aloysius terdiam sejenak. Buku-buku jemarinya yang menggenggam bola meriam mulai gemetar. Pria itu kedinginan... atau sedang merasakan hal lain.

"Ambilkan gadis yang berambut putih itu, kalau begitu. Masa bodoh soal tunangannya."

Andaikan ia sedang minum, Genma pasti sudah menyemburkannya ke wajah Aloysius. Ia benar-benar kaget.

"Perempuan bukan alat tukar yang pas, Alois. Cari yang lain," gerutunya. Ia muak dengan segala 'perlakukan-gadis-sebagai-uang' ini. Apa pengendali elemen pengganti tidak punya rasa hormat terhadap sesama makhluk hidup? Menganggap pria lebih pantas memimpin dan memperlakukan wanita sebagai objek—pembantu rumah tangga, penghias ruangan, pemuas?

ElementbenderWhere stories live. Discover now