93: Blood-Soaked Revelations

235 23 9
                                    

[note: goddamn saya lupa update lagi kemarin -_-

maaf, maaf banget. oh well, here it is.]

.

Rira memasuki Kastil Charonte dalam diam; pistol terkokang dan sepasang mata siaga. Metsuki mengikuti di belakangnya, mengeong lemah.

Tempat ini sesepi kuburan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kaokan gagak di kejauhan. Terdapat decap-decap basah yang janggal saat ia melangkahkan kakinya, dan Rira menunduk. Ia tidak bersepatu. Tentu saja.

Metsuki mulai menggeram pelan ke suatu arah. Sang pemuda listrik terdiam. Apa kucing itu merasakan sesuatu? Insting hewan biasanya lebih peka dibandingkan makhluk lain.

"Metsu?" Rira berbisik.

Kucing itu masih menggerung lamat-lamat. Tiba-tiba, ia menyalak ke sebuah rak buku dan mencakari permukaan kayunya dengan liar. Sang majikan bergegas menghampiri. Ditariknya Metsuki agar menjauh dari buku-buku tersebut, tetapi ia tetap rewel.

"Ayo, Metsu. Jangan buat aku marah."

"Mrreeeeowww."

"Apa maumu?"

"Mreoww." Yang bisa berarti "rasanya ada yang aneh dengan rak ini" atau "aku lapar".

Rira menghela napas, memutuskan untuk membiarkan kucing itu untuk sementara. Sebaliknya, ia mulai menatap rak buku tersebut dengan lebih teliti. Memang ada yang salah. Susunan bukunya tidak lagi rapi. Sebelum pergi ia telah mengatur setiap buku di Charonte sesuai abjad, tetapi sekarang susunannya asal-asalan. Seolah seseorang tengah mencari sesuatu di rak buku ini dan menaruhnya tidak pada tempatnya. Rira mendecak.

Pengendali listrik yang baru.

Ditengadahkannya kepala. Terdapat plakat di atas rak, tulisan dalam bahasa Evaliot kuno-Studi tentang Elemen dan Cara Penggunaannya. Ia menegang. Kalau pengendali yang baru membaca ini....

Tunggu.

Dengan cepat, Rira berjalan kembali ke tengah ruangan. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Rak-rak buku di tengah aula ditata melingkar. Jendela kaca patri di atap ruangan memberikan satu-satunya cahaya untuk ruangan gelap ini. Ia tersadar.

Seperti di mimpi itu.

Metsuki menghampirinya, puas mengasah cakarnya di permukaan kayu rak-tetapi Rira tidak lagi memerhatikan. Pemuda itu mengokang pistolnya untuk yang kedua kali, mengarahkannya ke rak buku tersebut.

Sosok hitam di tengah ruangan. Suara anak kecil di balik rak.

"Meow?" tegur Metsuki.

Rira menggeleng. "Keluar. Temui yang lain dan suruh langsung pergi. Jangan tunggu-"

"Bicara dengan kucing lagi, hmm, Ishida?"

Senyap. Sang pemuda listrik mematung di tempatnya. Ia tidak menoleh ke belakang-terlalu ragu untuk menoleh ke belakang.

Detik demi detik berlalu tanpa ia maupun sosok asing di belakangnya mengatakan sepatah kata pun. Metsuki mengerut ketakutan. Rira mempererat genggaman pada pistolnya. Tanpa shuriken raksasa tersebut, entah mengapa kepercayaan dirinya di hadapan musuh berkurang. Pistol duri ini harus cukup. Setidaknya untuk sekarang.

Sosok di belakangnya kembali berbicara. Namun suaranya tidak lagi terdengar dari belakang, melainkan dari sepenjuru ruangan.

"Kau cepat juga, rupanya."

Rira tidak menjawab. Wajahnya mulai berkeringat.

Keheningan itu tidak berlangsung lama karena sensasi rasa sakit menghantamnya tiba-tiba, membuatnya jatuh tersungkur. Tatapannya refleks mengarah ke bawah. Luka merah menganga kini menghiasi dadanya-lengkap dengan ujung pedang yang menembus hingga ke depan tubuhnya, meneteskan darah. Rira terhenyak. Tidak masuk akal.

ElementbenderWhere stories live. Discover now