87: Ruined Rendezvous

190 26 7
                                    

Muiridel hancur berantakan.

Begitu mereka akhirnya meninggalkan rumah kosong tersebut (yang setengah bagiannya telah roboh akibat gempa), apa yang terlihat di jalanan membuat keenamnya terpana. Tempat ini nyaris bukan apa-apa melainkan reruntuhan. Rumah-rumah ambruk, retakan demi retakan menganga di tengah jalanan menggantikan suasana Muiridel yang sebelumnya hidup oleh peradaban. Air lautan penuh dengan butiran debu dan pasir. Aroma familiar darah menghampiri hidung mereka.

Sakura menelan ludah, tanpa sadar menggenggam lengan baju Genma lebih erat. Bukan ini yang mereka harapkan setelah jauh-jauh berjalan dari Gaelea hingga sekarang. Kerusakan di mana-mana. Mayat-mayat duyung bergelimpangan di jalan raya.

Anak-anak muda tolol. Ia tersenyum getir. Tidak becus menjaga teman sendiri.

Terdengar isakan remuk-redam dari sebelah kanannya, dan gadis itu menoleh. Ayumi menangis lagi. Matanya memerah begitu menatap salah satu mayat duyung, seolah teringat sesuatu-wajahnya terbenam di pelukan Takumi yang kebingungan. Dilihatnya sang pangeran tengah bertukar pandang dengan Genma yang sama terpukulnya. Bertanya tanpa kata-kata. Habis ini apa?

"Ke sebelah kanan," gumam Genma pelan. Yang lainnya mengangguk.

Mereka berenang perlahan ke arah utara, menghindari reruntuhan gempa dan aroma darah yang semakin menyengat. Pepohonan laut dan koral-koral kusam lambat laun menggantikan baris demi baris rumah penduduk yang hancur dan tinggal rangka. Tidak ada siapapun sejauh mata memandang. Seharusnya itu hal bagus; tidak ada orang yang akan menyadari kehadiran keenam buronan ini di Muiridel; di antara sayembara dan tentara-tentara sang Raja yang sinting. Namun, entah mengapa hal tersebut kini membuat keadaan bertambah buruk. Segalanya terasa sunyi. Mati.

Sementara itu, Higina yang berenang paling belakang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak habis pikir. Kita bahkan belum tahu apa Tabitha masih hidup atau tidak. Dia masih ada di sana; tertimbun bebatuan. ... Dia masih hidup, 'kan? Ditatapnya rumah kosong itu sekilas, sebelum menghilang dari pandangan. Jalanan sempit yang dipagari koral ini membawa mereka semakin jauh ke arah timur laut.

Rasanya konyol mempercayai hal itu lama-lama-Tabitha masih hidup, 'kan?-seperti mencoba menggenggam buih lautan. Bahkan seandainya gadis itu bertahan hidup sekalipun, tidak akan ada yang menolongnya di sana. Tabitha akan terperangkap sendiri, selamanya. Higina tersentak. Teman macam apa kita ini?

"Mungkin kita harus balik lagi...," gumamnya tiba-tiba. Kelompok kecil tersebut berhenti. "Mungkin Tabitha-"

"Apa?" gerutu Sakura-meskipun gadis itu tidak lagi terlihat galak dengan matanya yang sembab. "Mengangkat batu-batu itu butuh seharian, Higina. Kita bisa mati kehabisan napas."

Sang gadis kehidupan kalah. Dicobanya memikirkan argumen lain, tetapi otaknya kosong. Ia mengangguk pasrah.

Kelompok kecil itu kembali berenang. Hening melingkupi mereka. Higina merapatkan sayap pegalnya ke sekeliling tubuh, berusaha menghalau suhu dingin yang tiba-tiba merasuk. Rasanya seperti berenang di dalam air es. Diliriknya teman-temannya satu persatu, menyadari bahwa mereka juga merasakan hal yang sama.

"Suhu air," gumam Ayumi pelan. "Biasanya... Tabitha yang mengendalikannya."

Tidak ada yang berkomentar, dan tidak ada yang ingin.

Sang gadis kehidupan melirik pepohonan tersebut. Hewan-mirip-tumbuhan laut yang tumbuh di kanan-kiri jalanan kini mengisut, kurus seperti ranting. Dicobanya meniupkan napasnya ke salah satu pohon. Tidak bereaksi. Percuma. Ini wilayah pengendalian Tabitha, bukan aku.

"Setidaknya kita belum tertangkap sampai sekarang, iya, 'kan?" Ia mencoba tersenyum. Tidak ada yang menanggapi. "Kalau di sini sampai ada tentara...."

ElementbenderWhere stories live. Discover now