26: Gaelea Outskirt

2.4K 115 0
                                    

Gadis berambut oranye keemasan tersebut—yang memegang cambuk berduri di tangannya—hanya bisa menahan napas ketika ia menghabisi orang kerdil terakhir dengan senjatanya. Mereka berubah menjadi patung batu setiap kali ujung cambuknya berhasil membelah tubuh mereka. Ini jelas-jelas bukan keturunan fayre mana pun. Biar Higina menjelaskannya nanti.

Itupun kalau gadis itu bisa menjelaskannya.

Sekejap setelah keadaan sudah lengang (dan ruang tamu menjelma menjadi ruang pameran patung-patung yang terbelah dua), mereka buru-buru kembali ke ruang makan di mana Higina terakhir kali berada. Keempatnya terhenyak ketika melihat pintu menuju ruang makan kini habis tak bersisa.

“Higina?”

Itu dia Higina. Seorang gadis berkimono hitam sedang terpaku memandang sesuatu—lebih mirip puing-puing suatu patung—dan di lengan kimononya terdapat bekas tanah kering.

Higina menoleh. Di wajahnya terulas senyum yang tidak dimengerti teman-temannya.

“Keluar dari sini,” tandas Higina begitu mereka mendekat. “Pecahkan jendela atau apalah. Cari Tabitha dan sang pangeran.”

“Di sini tidak ada jendela,” sanggah Genma kalem. Higina skakmat.

“Kalau begitu, pecahkan ventilasi atau—“

“Terlalu tinggi,” keluh Sakura. “Sayap kita sudah rusak.”

Higina pasrah. “Punya saran lain?”

Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di ruang tamu—dan meskipun Higina terkejut melihat patung-patung batu yang sebelumnya tidak ada, gadis itu lebih memilih untuk tidak berkomentar apa-apa. Mereka menumpuk semua meja dan kursi yang bisa ditumpuk, memanjat naik ke salah satu ventilasi terdekat, dan membuka selotnya. Ventilasi ini cukup untuk dilewati satu orang. Mereka berlima berhasil keluar dengan selamat—meskipun Higina yang terakhir keluar sempat terpeleset dan susunan tangga dari kursi pun goyah

.Dengan cepat, dunia bawah tanah yang redup dan penuh debu berganti dengan dunia atas di mana langit biru terang kehijauan segera menyambut mereka. Di sini tidak ada jamur-jamur raksasa. Sebagai gantinya, satu-dua bunga hortensia raksasa terlihat di kejauhan. Sebuah rumah beserta kios kuno berdiri di ujung jalan, pemiliknya entah ke mana, sementara sisanya hanya padang rumput dan pohon-pohon yang sudah pernah mereka lihat sebelumnya.

Ada gerbang berpapan tulisan di sebelah kiri Ayumi—“batas perkampungan Gaelea”.

“Etheres,” Sakura menahan napas. “Etheres ada di balik gerbang ini.”

“Haruskah kita kembali ke Gaelea?” celetuk Ayumi khawatir. “Mencari Tabitha dan Pangeran Takumi?”

Seorang pria dengan cangkul di pundak berjalan melewati mereka. Kelimanya buru-buru bersembunyi di balik pohon.

“Di sana tidak aman,” bisik Genma. “Kecuali kalau kau mau mendapat pasak di sayapmu lagi.”

Higina menggeleng kuat-kuat, merinding. Satu pun sudah cukup.

“Baik. Tunggu mereka lewat secara ajaib,” tandas Sakura. Ia benci menyindir teman-temannya, tetapi tangannya sudah gatal untuk menyentuh gerbang menuju Etheres lagi setelah berminggu-minggu memegang stang sepeda. Diliriknya ventilasi tempat mereka melarikan diri. Tidak ada apa-apa. Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada kios makanan yang hanya beberapa meter dari tempatnya bersembunyi. Kue kismis, kue ceri, biskuit-biskuit mungil.

Sakura meraba ujung mulutnya. Air liur.

“Kita perlu makan sesuatu,” katanya, tanpa secara langsung menjelaskan betapa laparnya ia saat ini. “Ayolah. Siapa yang mau ke sana dan... meminta makanan?”

ElementbenderWhere stories live. Discover now