35: The Origin of Elementbenders

2.2K 87 0
                                    

"Metsuki?" panggil Rira. Kucingnya yang malang pasti tertinggal jauh di belakang, semenjak ia meninggalkan rumah Clair. Metsuki terkadang tidak suka diangkat lama-lama, jadi ia membiarkannya jalan sendiri. "Metsu?" Rira menirukan suara meongan kucing. Ia mengernyit menyadari betapa miripnya meongan tersebut dengan meongan kucing asli. Hah, mungkin karena pemuda itu lebih sering berbicara dengan kucing daripada orang lain. Ia meneruskan mencari.

Hujan turun semakin deras dan sang pemuda listrik bertanya-tanya apakah perubahan cuaca ekstrim ini disebabkan oleh kepulangan para pengendali yang asli atau ulah para pengendali pengganti. Mungkin dua-duanya. Kata Marabel, para pengendali pengganti mengendalikan elemen dengan buruk. Pernyataan itu masih mencakari hatinya. Seberapa buruk?

Rasanya seperti menangkapi semut di tanah gelap. Semut-semut itu (para pengendali pengganti itu) tidak terlihat, tetapi terus menggigiti kaki mereka.

Angin berdesir keras, menjatuhkan dedaunan kering ke arahnya. Rira berhenti mencari. Pohon-pohon raksasa di sekitarnya bergerak tiba-tiba, kulit mereka yang cokelat dan berkayu perlahan menghitam dan mengisut. Sang pengendali listrik menengadah. Cabang-cabang pohon yang semula menaungi gang tersebut mulai mengerut. Ranting-rantingnya menyentak, menjatuhkan dedaunan kering secara tiba-tiba. Tanah cokelat yang diinjaknya mengeras, berubah menjadi lapisan batu gersang dengan permukaan yang retak-retak. Diliriknya rumah Maurice. Pohon tempat elf tua itu tinggal masih terlihat segar—dengan kulit pohon berkayu dan dedaunan hijau. Rira menyipitkan mata.

Ini akibat pengendali elemen kehidupan pengganti. Bukan, rasanya bukan. Di Gaelea, energi kehidupan terasa tipis dan keruh, tetapi setelah Higina keluar dari ruang makan markas Gaelea—apapun yang gadis itu lakukan di sana—energi kehidupan tersebut mulai menebal, meskipun belum stabil. Ya, ia bisa merasakan tingkat keseimbangan keenam elemen di kepalanya, dan itulah yang terkadang membuatnya terjaga semalaman. Dunia elemen begitu rapuh di tangan para pengendali elemen.

"Dan kalau pengendalian keseimbangan jatuh di tangan yang salah," Yuki sering mengulang-ulangnya sampai Rira bosan. "Dunia ini akan—wuuus...! Hancur seperti menara ditembaki bola meriam."

Pemuda itu dikagetkan oleh petir raksasa menggelegar, menghantam tanah di hadapannya, nyaris mengenai sepatu botnya. Serpihan tanah sekeras batu berlontaran dari tempat petir tersebut mendarat. Rira menyingkir. Petir itu lenyap begitu menyentuh tanah, beberapa muatan listrik berhamburan ke arahnya—tetapi hanya itu. Ia kembali memanggil Metsuki.

Kucing itu ada di balik semak-semak layu, membalas panggilannya dengan satu meongan panjang dan bawel—kemudian menghampiri tuannya. Perban yang menutupi sebelah matanya agak miring dan di mulutnya terdapat seekor tikus mati. Rira tersenyum. Ditepuknya puncak kepala Metsuki, yang langsung melepaskan bangkai tikus itu dan mengeong pelan.

"Kau membunuhi tikus-tikus nakal demi mengisi perut laparmu, hmm?"

"Meong."

***

Ruangan bundar itu bertambah hangat setelah Zoe menambahkan kayu bakar di perapian. Amabilis masih berusaha membujuk Takumi sambil merajuk.

"Heeei. Dengar, ya. Racun panas itu bisa melumpuhkan punggungmu kalau tidak segera diobati."

"Amabil! Dia Pangeran Takumi!"

Amabilis tidak menghiraukan seruan gemas adiknya. "Bagaimana kalau yang ini saja: racun panas itu bisa membusukkan tulang belakangmu kalau tidak segera diobati," ulang si anak laki-laki, berhasil membuat Takumi bergidik. "Luka-lukanya harus segera diberi ramuan, Yang Mulia. Gigi-gigi binatang itu pasti gatal sekali. Iya, 'kan, Kek?" Amabilis menoleh pada kakeknya, meminta dukungan. Maurice menggeleng, kemudian mengangguk putus asa.

ElementbenderWhere stories live. Discover now