12.1: Evidence Gathered

3K 154 3
                                    

"Tadaima!" teriak Tabitha sesampainya di apartemen. Setelah melepas sepatu dan jasnya, ia langsung menyambar handuk mandinya di dekat konter makanan—agar seseorang tidak mengambil giliran mandinya lagi.

"Mau minum teh?" tanya Ayumi yang sudah lebih dulu berada di apartemen sambil menunjukkan cangkir-cangkir lama yang dibersihkan kembali. Kelihatannya manusia jarang minum teh di dalam apartemen. "K-kenapa buru-buru?" Namun, Tabitha sudah masuk ke kamar mandi dan tidak mendengarnya.

"Tingkahnya aneh sekali hari ini," gerutu Genma—yang sedari tadi mengejar Tabitha, bersamaan dengan Rira—sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. "Selalu berjalan mendahului kita. Konbanwa, Ayumi."

Ayumi mengernyitkan dahi.

"Sialan!" teriak Sakura dan Higina bersamaan, tiba-tiba muncul dari balik pintu. Keduanya sama-sama bermandi keringat, berwajah kusut, dan memakai topi seragam mereka asal-asalan. "Padahal hampir dapat!"

"Apa?" tanya Ayumi, secara refleks memiringkan kepala ke samping.

"Apa?" tanya Sakura dan Higina, menatap satu sama lain, menyadari bahwa mereka baru saja meneriakkan hal yang sama. "Kau hampir dapat apa?"

"Lemparan sepatu?" tebak Genma masam; mengingat sepatu-sepatu Sakura—dan Tabitha juga—yang beberapa kali mendarat ke arahnya.

"Pembeli terakhir?" tebak Ayumi khawatir.

"Pangeran Takumi?" tebak Rira—dengan penekanan tipis pada kata "pangeran".

"Tepat!" teriak Sakura dan Higina bersamaan lagi, kemudian menatap satu sama lain kembali. Keheranan karena menyadari jawaban mereka yang sama. "Kau... apa?"

Ayumi nyaris melompat dari balik konter. "M-maksudnya... Pangeran T-Takumi?" tanyanya gemetaran. Pupil mata pucat gadis itu melebar ketika kedua temannya berbicara.

"Ya.... Tidak. Aku tidak mengerti—dari mana memulainya?" kata Sakura bingung. "Ceritanya panjang.... Higina?" panggilnya. "Tahu sesuatu tentang Pangeran juga? Astaga—kebetulan sekali."

Genma, Rira, dan Ayumi bertukar pandang satu sama lain. 

"Astaga. Kita bertemu Pangeran di hari yang sama!" simpul Higina antusias. "Aku baru saja mau cerita," kata gadis itu lagi, sementara ia menaruh topi berlogo Hana's ke meja. "Jadi, sewaktu aku keluar florist pada jam istirahat, seseorang menabrakku dan... tebak? Aku melihatnya!"

Sakura menahan napas. "Teruskan."

Sambil menjalin-jalin rambutnya dengan jemari, gadis itu melanjutkan. "Aku bilang namanya Takumi Kuro, dan dia menolak. Dia tidak mungkin bukan Pangeran Takumi; seorang laki-laki biasa tidak bisa bersikap layaknya pangeran. Dan, tahu tidak; Pangeran menganggap dirinya sendiri sudah gila! Astaga. Pencarian ini lebih sulit ketika yang kita cari justru berjalan menghindar."

"Sudah aku bilang; Pangeran Takumi hilang ingatan," gumam Ayumi pelan.

"Seharusnya kau yang mengingatkannya," kata Genma.

Higina tersenyum sinis. "Ya. Sudah, tentu saja. Aku mengingatkannya tentang Efthralier. Pangeran Takumi tidak mungkin lupa terhadap tempatnya dilahirkan, jadi... yah. Aku tidak melihat dia berkata sesuatu tentang mengenali tempat itu atau apapun. Dia langsung... berlari."

Genma dan Ayumi menghela napas kecewa.

"Menyebalkan."

***

"Buruk," kata Sakura setelah Higina mendesaknya menceritakan versi ceritanya bertemu Pangeran Takumi. "Aku juga tidak berhasil membawanya ke mari. Lain kali, kalau bertemu dia lagi, biar kutarik dia langsung ke sini."

"Ya, tapi kami tidak akan terkesan, Sakura," komentar Tabitha malas. "Bisa-bisa, kau malah dituduh menculiknya." Gadis itu sudah keluar dari kamar mandi, setelah Ayumi dengan tegas memintanya keluar. Sumur-sumur air bisa kering kalau dia mandi terus.

Sakura tidak peduli. "Jadi, aku mengantarkan pizza... Ah, tidak. Saat aku mengantarkan pizza terakhir, laki-laki di rumah itu... laki-laki di alamat tujuan pizza terakhir itu... Pangeran Takumi. Tapi, dia... Argh. Tinggal sedikit lagi!" gerutunya, menutup wajah dengan kedua tangan. "Ah... bagaimana menceritakannya? Dia benar-benar, benar-benar, benar-benar..."

"... berkepala batu?" sambung Tabitha lagi, mengingat istilah-istilah manusia yang dulu dipelajarinya. Meskipun ia tidak yakin ada manusia yang menggunakan istilah seaneh itu. "Menurutmu bagaimana?"

"Takumi memang keras kepala dari sananya. Siapapun tidak bisa memaksanya melakukan sesuatu atau menolak permintaannya," tanggap Rira. Sepertinya hanya ia yang memahami apa yang dimaksud Sakura. "Biarkan saja dia mengingat sendiri."

Sakura menghela napas. "Ya, tapi... kalau misalkan aku hanya bertemu seseorang yang mirip sekali dengan sang pangeran.... Dia tidak mengenalku... tapi dia tahu soal Pangeran Takumi! Perkataannya.... Higina, kita pasti bertemu orang yang sama. Dan Ayumi juga."

"Ceritakan yang jelas," gerutu Higina jengah.

Gadis berseragam Pizza Delivery tersebut mengerutkan dahi. "Jangan menyelaku. Aku yakin dia Pangeran Takumi, dan kelihatannya dia masih ingat kita, sedikit. Tidak secara langsung mengatakannya, tapi aku tahu Pangeran mulai mengenali kita. Terlihat dari matanya."

Ayumi bangkit dari tempatnya duduk dan menyambar enam gelas kosong dari konter, seperti yang biasa dilakukannya. Genma menarik Tabitha dan Rira menjauh dan berbisik. "Pasti ada hubungannya dengan angin ribut tadi siang."

"Aku mengingatkannya soal... ah. Pesta minum teh di Etheres. Saat-saat seperti itu penuh... kenangan, iya 'kan?" lanjut Sakura dengan mata menerawang.

Keenam penghuni apartemen tersebut terhenyak. Pesta minum teh, ya, tentu saja. Bagian dari masa lalu mereka, sekaligus penyatu keenam pengendali elemen kecil dan sang pangeran muda. Satu-satunya alasan bagi Pangeran Takumi untuk keluar dari kamar megahnya di istana dan bermain seperti anak-anak lainnya. Namun, pesta itu sudah lama sekali. Semenjak sang pangeran menghilang, tidak ada yang menikmati tehnya lagi. Higina bahkan menyebut acara itu sebagai formalitas belaka.

"Hanya itu yang bisa kulakukan," perkataan Sakura memecahkan keheningan. "Kita tidak butuh pertimbangan apapun. Dia Pangeran Takumi—benar-benar Pangeran Takumi—" tambahnya pelan. "—jangan pikirkan kenapa dia tidak punya sayap dan hilang ingatan, itu bukan urusan kita. Jangan pikirkan yang berat-berat. Pencarian kita bertambah rumit..." gadis itu menghela napas pelan, meluruskan pikiran-pikirannya. "... dan waktu kita semakin sedikit. Dunia elemen semakin... semakin membutuhkan kita kembali."

Genma tersenyum getir . "Kita harus berhenti bersikap seperti manusia remaja."

Higina mengangkat bahu. "Dan menyadari siapa kita sesungguhnya."

ElementbenderWhere stories live. Discover now