92: All You Can Eat...

249 21 8
                                    

[Warning: this chapter might be triggering for some.

English mode off, maaf karena kemarin lupa publish (lagi)!]

.

Sialan. Pakai lupa tombakku segala.

Tabitha-yang sekarang bernama Aria-berenang kembali ke aula dengan tergesa-gesa, menyikut satu-dua duyung dalam perjalanannya ke sana. Ia tadi menyimpan tombaknya di bawah sofa, karena benda itu terlalu mencolok kalau dibawa terang-terangan. Mana ia tahu bahwa sang Madam sendiri yang akan mengajaknya "berjalan-jalan". Setelah ini harus langsung habisi dia, pikirnya gusar. Sudah cukup ramah-tamahnya. Aku mau segera kembali ke teman-temanku.

Untunglah benda itu masih ada di tempat terakhir ia meninggalkannya. Segera diambilnya senjata tersebut, kemudian disembunyikannya di balik jubah. Mata tombak yang berbentuk seperti wajik menggelitik sayapnya.

Gadis itu baru akan meninggalkan aula menuju koridor yang tadi ditunjukkan sang Madam, tetapi sesuatu menghentikannya. Ruangan ini bertambah redup. Para pengunjung mendadak bangkit dari kursi, meja bar, dan sofa mereka. Orkes musik mulai memainkan nada ceria, semangat-sensual. Pertunjukannya sudah dimulai.

Tabitha hanya bisa terhenyak begitu satu persatu duyung naik ke atas panggung di tengah ruangan. Diiringi musik berirama lembut, duyung-duyung pendek tersebut melenggang masuk dengan gemulai, seperti sebarisan penari. Wajah mereka ditudungi kegelapan. Sang gadis air berenang lebih dekat ke arah panggung, menyikut satu-dua duyung yang bahkan tidak menoleh ke arahnya. Ia harus tahu siapa mereka. Siapa tahu "gadis-gadis" sang Madam adalah para dayangnya juga, terjebak menjalani pekerjaan yang tidak mereka inginkan.

"Dan kita telah sampai... pada saat yang paling ditunggu-tunggu." Suara seorang duyung segera mengagetkannya. Itu jelas bukan suara sang Madam-mungkin pembawa acaranya. "Tuan-tuan, dan... kalau ada Nyonya-nyonya-mari kita sambut... Yang Mulia Lois... dan...."

Tepuk tangan riuh dari para duyung menenggelamkan perkataan sang pembawa acara setelahnya. Tabitha terpaksa menjatuhkan dirinya ke atas sofa terdekat; tubuh lemasnya terbenam di antara lautan pengunjung dan hingar-bingar musik. Ia pusing. Namun, tetap diperhatikannya juga panggung lingkaran tersebut, menunggu para penari sang Madam untuk menunjukkan wajahnya.

Tiupan terompet terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali. Permainan biola dan xilofon yang apik segera mengikutinya-tetapi bukan itu yang membuat Tabitha terpana.

Satu persatu lampu di atas panggung menyala. Cahaya conchella yang gemerlap menunjukkan sosok Madam Lois sebagai penari paling depan, bersama lima duyung cilik di belakangnya.

.

Jalur setapak itu sepi kecuali untuk satu-dua camar yang bersiul-siul berisik di atasnya. Rira memimpin kedua temannya membelah pegunungan hutan pinus, menuju Kastil Charonte. Tatapan kerasnya masih belum berubah dari setengah jam yang lalu.

Takumi menatap ke arah puncak bukit. Memilih berjalan kaki karena tidak ingin digantung berkilo-kilometer di atas tanah lagi, sang pangeran terpana melihat betapa tingginya Charonte dari arah sini. Tempat ini juga terkucilkan dari keseluruhan dunia elemen. Jalanannya yang terjal membuat siapapun harus berusaha keras mendakinya, dan udaranya yang menggigit juga sama sekali tidak membantu. Pantas dia bisa jadi seketus itu, pikir Takumi sinis. Jangankan orangnya-rumahnya sendiri tidak bersahabat.

Sementara itu, Ayumi yang sedari tadi sibuk melamun kini mulai gemetaran. Diuraikannya rambut panjangnya ke bagian depan tubuh, menjadikannya selimut darurat di tengah udara dingin. Takumi menoleh.

Tanpa pikir panjang, dirangkulnya bahu sang gadis ilusi. Ayumi justru bergerak menjauh, kaget. Sang pangeran ikut terkejut. Segera ditariknya tangannya kembali-sambil mengulang-ulang "sial, sial, sial!" dalam hati.

ElementbenderOnde histórias criam vida. Descubra agora