89: A Gift of Guilt

236 23 6
                                    

Malam telah turun, dan mereka masih menyusuri lautan.

Kini, hanya keheningan yang tersisa di dalam gua. Baik Nozomu maupun Tabitha terlalu lelah untuk membuka percakapan. Furo mengayuh siripnya dengan malas. Semilir air mengacaukan rambut putih mereka, membuatnya tampak seperti ubur-ubur perak.

Tabitha berpegangan erat pada tombak pemberian sang kakak. Tangan pucatnya berkeringat. Rasanya gila-ia akan membunuh seseorang. Seorang pengendali pengganti. Sesuatu berdegup keras dalam dadanya; antara semangat sekaligus takut.

Tapi aku sendirian.

Nozomu-senpai tidak masuk hitungan. Dia bukan pemimpin Muiridel lagi, dan Tabitha tidak akan membiarkan pria itu membantunya menghabisi si pengendali pengganti. Ini kewajibannya sendiri. Ini dendamnya sendiri. Lagipula, hanya gadis itu yang kini bersenjata.

"Imouto?" panggil Nozomu tiba-tiba. Tabitha tersentak. "Kenapa?"

Sang gadis air menggeleng-geleng, heran. Memangnya ada apa? Tidak ada yang salah di wajahnya. Sedari tadi ia hanya menatap lurus ke depan-terus-terusan begitu seolah tengah kerasukan. Meskipun tidak ada sama sekali hal yang menakjubkan di depannya, kecuali bebatuan dan gelembung air....

Kalau dipikir-pikir, mungkin itulah masalahnya.

"Eh... hanya kangen dengan teman-temanku," jawab Tabitha asal-asalan. Tangan terjulur menyentuh dinding kasar gua, teringat saat ia membalurkan cairan conchella ke sepanjang permukaannya untuk menerangi jalan. Nozomu hanya menatapnya, kemudian mengangkat alis. Mereka kembali berjalan.

Entah sampai kapan mereka menyusuri gua ini. Tabitha masih berusaha terjaga, meskipun kelopak matanya telah turun nyaris 50 persen. Kantuk menguasainya. Semilir air yang menenangkan perlahan berubah menjadi semilir angin, matahari bersinar tinggi di langit sana, dan....

"Aku punya hadiah untuk kita semua, lho," gadis kecil berambut putih pendek itu berceletuk. Seisi meja menoleh. Kepala dimiringkan, pertanda heran.

"Masa, sih, Tabitha?" Si gadis mungil berkimono hijau bertanya. Alisnya berkerut, pertanda sangsi. "Jangan kayak hadiah Genma, lho, ya. Iih!"

Di sudut meja, seorang anak laki-laki berambut semerah darah hanya menyeringai. Di tangannya terdapat kodok-enam kodok mati-tersimpan di dalam botol kaca.

Tabitha hanya tersenyum lebar dan turun dari kursinya. Di tangannya sendiri terdapat enam kotak hadiah. Ada sensasi tersendiri membuncah di dadanya-semacam bahagia, semangat, penasaran, sekaligus khawatir bercampur jadi satu. Dibagikannya setiap kotak kepada setiap anak yang hadir di sana. Satu kotak berwarna biru-hijau polos diperuntukkan untuk sang pangeran takhta, yang duduk di kepala meja. Satu kotak lagi untuk dirinya sendiri.

"Sekarang... buka."

Gumaman, dan-untuk urusan Ayumi, desahan panjang "iih, imutnya!"-segera terdengar. Senyum di wajah sang gadis berambut putih bertambah lebar. Diperhatikannya ekspresi teman-temannya satu persatu. Sakura hanya berkat, "oh" biasa. Higina tertawa tipis. Genma langsung berteriak norak, dan Pangeran Takumi hanya menatap hadiahnya dengan bingung.

"Eh... aku tidak yakin diizinkan bermain dengan... benda ini."

Senyum Tabitha memudar. "Bukan buat kalian mainkan, kok. Kita, 'kan, sebentar lagi tumbuh besar, jadi... simpan saja buat kenang-kenangan."

"Payah kau, Takumi." Genma memeletkan lidah. Diangkatnya hadiah tersebut tinggi-tinggi, seolah memerhatikan wujudnya di bawah sinar matahari terik. "Cocok buat miniatur pedangku, nih!"

Ayumi telah berhenti mengagumi hadiahnya. Gadis kecil itu beralih ke arah Tabitha, menatapnya sejenak. "Ehm, kau... sudah kasih buat... dia, belum? 'Kan, kasihan dia di sana, kalau... tidak ada buatnya juga."

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang