82: Mirror, Mirror on the Wall

935 61 16
                                    

Ayumi benar soal keraguannya akan ketersediaan pakaian laki-laki di menara ini. Hampir tidak ada yang bisa dipakai ketiga pemuda itu di sini. Mereka sampai harus mencari-cari semua lemari—bahkan sampai ke bawah tempat tidur—untuk mendapatkan sesuatu yang bukan kain rombeng, selimut lusuh, atau potongan besi pelindung yang bebercak darah.

Kamar pelayan yang ditunjuk Ayumi kelihatannya dimiliki oleh para pengawal sang pengendali ilusi, bukan benar-benar pelayan. Tempat itu kosong kecuali untuk beberapa kasur lusuh dan lemari yang berisi pakaian besi. Tidak ada senjata, sayangnya. Siapapun yang tinggal di sini tampaknya meninggalkan menara dengan terburu-buru, melihat keadaannya yang lengang dan berantakan. Setidaknya masih ada beberapa kemeja dan celana yang tersisa.

Genma memasang kancing di kemejanya cepat-cepat, menyisakan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka. Matanya terpaku pada salah satu jendela di ujung ruangan. Apa pasukan patroli itu masih di sana? Sulit ditebak. Setidaknya ia tidak mendengar suara mereka, jadi mungkin sudah aman. Tatapannya kemudian beralih pada sebuah potongan besi yang teronggok di atas kasur. Hmm. Bisa jadi pisau yang bagus, kalau kutajamkan ujungnya.

"Astaga—" Gumaman pelan Takumi membuyarkan pikirannya. Genma dan Rira menoleh. Pemuda itu tengah terpaku dengan kemeja hitam lusuh di tangan—bagian depan kain itu ternoda darah. Sang pangeran mendengus kesal. "Ck. Cuma ini yang tersisa."

"Itu masih lumayan," potong Genma, menyeringai. "Punya kita malah tidak ada lubang sayapnya." Ia menunjukkan punggung kemejanya sendiri. Memang benar. Celah yang ada di sana dikhususkan untuk sirip punggung shoreal, sehingga ia dan Rira harus merobek lubang baru agar sayap mereka muat. Bukan perkara sulit bagi seorang Genma. "Hei, kalian lihat ada senjata di sini?"

"Ti—"

Pertanyaannya segera dijawab oleh suara gedubrak keras—diikuti teriakan.

"AAAAAAp-apa... apa-apaan itu?!"

Ketiganya refleks menatap satu sama lain. Bingung. Rira yang pertama kali bergerak, tubuhnya telah berpakaian lengkap kecuali untuk sepatu—karena memang tidak ada alas kaki di sini. "Kedengarannya seperti dia," ia bergumam pelan. Segera ditinggalkannya kamar pelayan.

Terdengar suara logam tangga yang berderit saat sang pemuda listrik memanjat ke lantai atas. Kemudian hening. Kini tinggal Genma dan Takumi yang berada di kamar; sang pangeran meneruskan aktivitas memakai bajunya, sementara pemuda satunya tengah menimang sepotong besi dari tumpukan rongsokan di lantai. Besi itu dulunya bagian pelindung tubuh yang telah tercerai-berai. "Merasa ada yang aneh dari sikap dia hari ini?" Si pengendali akhirnya bicara. Mata hijaunya melirik Takumi dengan alis terangkat.

"Siapa?"

"Rira."

Takumi mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin." Diselipkannya pisau berlekuknya ke dalam celah penahan ikat pinggang. Kemudian, seolah teringat sesuatu, "yang di dapur tadi... soal rencana itu; memangnya... ada apa dengan mereka?"

Genma telah selesai dengan aktivitas melihat-lihat besi rongsokannya dan memilih satu yang berbentuk seperti pisau daging. Lebar dan tipis, dengan ujung yang lumayan tajam untuk memotong daging musuh. "Hm? Mereka? Gara-gara kutukan pengendali pertama, mungkin—setiap listrik dan air jadi mirip kucing dan anjing."

"Kukira perpecahan bukan hal bagus buat pengendali elemen," komentar Takumi datar. Masih jelas dalam ingatannya, kisah-kisah—sejarah—yang diceritakan Maurice dan Hide pada mereka; bagaimana perbedaan pendapat antara para pengendali elemen dapat mengundang kehancuran bagi dunia ini. Membayangkannya saja sudah membuat Takumi merinding. "Terutama dalam situasi sekarang. Persatuan lebih dibutuhkan daripada... tahu, lah, permusuhan sepele...."

ElementbenderWhere stories live. Discover now