25.3: Wait What?

2.4K 116 1
                                    

Higina terdorong ke sudut ruangan. Suara Arashi berubah-ubah saat ia bicara.

"Kau tidak mengerti. Kau tidak mengerti mereka, ibuku yang payah. Kau yang egois. Kau yang memaksa Gaelea agar tunduk kepadamu!" teriaknya, menarik-narik kimono Higina. "Bagaimana soal rakyat itu? Mereka membutuhkanmu di saat kau bersenang-senang di bumi!"

"Aku tidak bersenang-senang di bumi," balas Higina, meskipun tidak sepenuhnya jujur. Fukui benar-benar menyenangkan: suasananya hangat; bangunan-bangunannya berbentuk aneh dan selalu dingin oleh mesin kotak berwarna putih. Namun, udara yang tercemar, manusia-manusia yang nakal dan suka menyemburkan asap berbau mint ke arahnya membuat Higina lebih baik pulang.

Mendengar respon Higina, Arashi malah semakin memojokkannya. Wajah muda yang pucat itu kini memerah. Marah.

"Jangan lupa bahwa wajahmu benar-benar seperti wortel yang minta diiris-iris."

Arashi mengangkat sebelah sayapnya; sebilah gergaji lingkaran yang berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari. Diarahkannya bilah gergaji tersebut ke bawah dagu Higina. Ditekankannya pelan—sangat pelan—menghasilkan goresan tipis tanpa darah di leher sang gadis kehidupan.

"Kau sok melindungi mereka, Higina," kata pemuda itu pelan. Suaranya berubah menjadi suara pria dewasa. Bagaimana pun, caranya mengucapkan "sok" masih terdengar kekanak-kanakkan di telinga Higina. "Padahal kau hanya gadis yang suka marah-marah dan ingin segala sesuatu sempurna, 'kan?"

"Cukup." Dengan kesal, didorongnya pemuda itu menjauh darinya. "Raja yang baru harus tahu soal ini. Perbuatanmu tidak bisa ditoleransi lagi." Higina berjalan menuju pintu ruang makan yang sudah hancur. Namun, belum sempat ia melangkahkan kaki ke luar ruangan, sepasang sayap gergaji raksasa menghalangi jalannya.

"Kalau sudah masuk, jangan keluar."

Nada suara kekanakkan yang digunakan Arashi menarik minat Higina. Dalam arti negatif, tentu saja. Gadis itu bertanya pelan. "Mau apa kau?"

Arashi tersenyum polos. "Bermain."

"Aku harus menemui sang Raja. Terima kasih."

Sepasang sayap gergaji itu masih memblokir jalannya. Higina tahu bahwa sebenarnya ia tidak perlu membantah. Arashi akan terus menahannya. "Kau tidak bisa ke mana pun dengan sayap yang rusak," katanya, tiba-tiba melunakkan suaranya. "Tetap di sini, Okaa-san."

Arashi melipat sayapnya dan memasukkannya kembali ke dalam punggung—entah bagaimana caranya. Dipeluknya tubuh Higina dari belakang. Tanpa memedulikan ekspresi kaget di wajah gadis itu, ia langsung membenamkan pipinya di antara jalinan bulu-bulu sayap Higina, bergumam pelan.

"Ini bukan salahku, Higina. Ini bukan salahku."

 ***

Arashi kembali mengubah kepribadiannya. Dilepaskannya pelukannya, dilemparkannya tubuh Higina ke lantai, kemudian melenggang menghampiri "singgasana"-nya seolah tidak terjadi apa-apa. Pria kecil itu bergelung di sana sambil menggumam pelan, tidak memedulikan gadis yang ada di depannya.

Higina dibiarkan begitu saja di lantai, kesakitan dan payah. Ia sudah terlalu banyak dilempar dan dicampakkan hari ini, sehingga ia tidak tahu harus melakukan apa-apa kecuali berbaring di sana dan menangis. Kali ini, hidungnya berdarah. Higina merutuk dalam hati.

Oh, Atsuka-nee. Semua orang juga tahu kalau aku sama lemahnya dengan rakyat biasa.

Dengan ketegaran yang setengah-setengah, gadis itu berusaha bangkit. Meskipun sanggulnya berantakan, kimononya ditempeli berlapis-lapis debu, tangan-kakinya gemetar, dan hatinya panas-dingin, Higina tetap menguatkan diri untuk berbalik. Berhadapan langsung dengan sang pemimpin Gaelea yang baru.

ElementbenderWhere stories live. Discover now