83: Prelude to a Downfall

619 51 10
                                    

Mereka meninggalkan menara pusat setelah semuanya selesai beristirahat, dan setelah matahari bersinar tinggi di atas lautan.

Tidak banyak yang berubah, meskipun Higina berharap bisa membuat jubah penyamaran seperti saat di Gaelea. Tenaganya belum cukup pulih untuk hal itu. Dan lagipula, di bawah laut seperti ini, selapis lagi kain yang berkibar-kibar akan mempersulit gerak mereka—sayap ini saja sudah cukup mengganggu. Penyamaran bisa diurus nanti. Yang penting sekarang ke Muiridel dulu.

Tabitha masih hafal letak Palung Abyter dari sini. Hanya lurus ke arah utara melewati hutan laut dan peternakan kerang. Biasanya ketujuh remaja ini riuh (enam, setidaknya), tetapi kini mereka diam selama perjalanan. Terlalu tegang untuk membuka percakapan.

Setidaknya, sampai mereka tiba di Palung Abyter itu sendiri.

"Tunggu." Takumi buru-buru menggapai bahu Tabitha, mencegahnya berenang lebih jauh. "Kau tidak bilang di sini juga ada jembatan. Kenapa tidak lewat situ saja?"

Sebuah jembatan lengkung dengan tulisan 'Perbatasan Lunaver-Muiridel' memang terbentang di atas palung—kurang lebih satu kilometer dari tempat mereka berdiri. Tabitha menggeleng pelan. "Banyak penjaga. Kita tidak punya senjata lagi sekarang."

"Dasar Grey Froth," timpal Sakura. Mendengar nama pria itu disebut, Ayumi mendadak merinding lagi. "Sebelumnya pakaian, sekarang senjata. Padahal aku baru mulai terbiasa dengan cambuk Ochiru-sama...."

"Kau mau bahas yang soal cermin itu?" Genma menyambar.

"Tidak!"

"Ya sudah." Pemuda berambut merah itu mengedikkan bahu, kemudian berenang menghampiri Tabitha. Ditatapnya palung—jurang—yang kini terbentang di hadapan keduanya. Mulut jurang tersebut seolah memanggil siapapun untuk melompat ke dalam. "Jadi, apalagi—masuk ke dalam sini?"

Tabitha mengangguk. Namun wajahnya mulai gelisah, dan itu bukan karena ketiadaan senjata. "Kita... lupa bawa lampu."

"Sialan."

Palung Abyter masih menganga di hadapan mereka. Hitam gelap tanpa penerangan sedikit pun—bahkan sinar matahari pun tidak dapat masuk ke dalam sana. Api dari tangan Genma, tentu saja, tidak berfungsi di bawah laut. Dan entah mengapa tidak ada yang terpikir untuk membawa lampu conchella dari menara Ayumi.

Mungkin benar kata Rira, pikir Tabitha kesal. Ideku bodoh.

"Ada yang takut kegelapan di sini?" Genma mengumumkan tiba-tiba. Higina dan Sakura langsung menaruh telunjuk di mulut mereka, ekspresi 'pelan-pelan-bodoh-atau-nanti-mereka-dengar!'. "Oke. Ada yang takut kegelapan?" Ia mengulang, lebih pelan kali ini. "Tidak ada? Bagus."

Lagipula, kalau dipikir-pikir, tidak ada pilihan lain yang tersisa.

Sementara para pekerja Madam Mermaid menghancurkan jembatan menuju Muiridel, keenam pengendali elemen dan sang pangeran telah berenang menuruni dasar Abyter, jauh dari radar sayembara mereka.

***

Ada yang namanya gelap biasa. Ada yang namanya gelap luar biasa.

Takumi harus mengakui bahwa palung ini adalah yang kedua. Di sekelilingnya hitam pekat, sangat hitam sampai-sampai menutup dan membuka mata pun tidak ada bedanya; dan andaikan mereka tidak berpegangan tangan sedari tadi, mereka pasti sudah tersesat. Ia seolah berenang tanpa tujuan. Hanya mengikuti tarikan tangan Genma dan Sakura. Sekali terlepas, mampus sudah.

Air berderu pelan. Semacam suara gelembung yang aneh terdengar dari arah bawah. Takumi menyamakannya seperti saat kepala dimasukkan ke dalam kolam renang—hanya saja kali ini tanpa sesak napas. Suara itu terus mengikutinya sampai mereka telah lima menit berenang.

ElementbenderWhere stories live. Discover now