56.1: End of a Dead End

1.7K 82 0
                                    

Hide menajamkan matanya, meneliti atap-atap dan jalan-jalan sempit di bawahnya. Tidak banyak falcon yang berseliweran sore ini. Langit berwarna oranye tua bercampur merah darah dan ungu muda. Sebentar lagi malam. Ia tidak akan membiarkan enam anak itu tidur seperti gelandangan malam ini—kasihan mereka. Hide memang jadi mudah kasihan setelah menyadari umurnya yang tidak lagi muda.

Pyrrestia sudah berubah. Para falcon melupakan para pengendali elemen yang sejati. Kalaupun ingat, mereka akan merendahkan para pengendali tersebut layaknya merendahkan seorang pelayan. Mungkinkah asalnya... dari pengendali listrik pengganti? Hide berpikir-pikir. Pengendali listrik, yang juga mengendalikan keseimbangan elemen dan pikiran, bisa dengan mudah memutarbalikkan pikiran siapapun yang diinginkannya—itulah sebabnya seorang pengendali listrik harus emotionless, diasingkan dalam kastil di atas gunung batu, dan—menurut penafsiran sebagian orang—dilarang jatuh cinta, paling tidak selama pengendali listrik itu berkuasa. 

Tapi tidak buat Yuma, Hide menggeleng-geleng. Yuma adalah ibu Takumi, pengendali listrik pertama dan satu-satunya yang pernah menikah. Pernikahannya dengan Hakkou, pengendali api yang seangkatan dengannya, menghasilkan seorang anak. Takumi Kuro.... Pangeran yang keras kepala, sedikit angkuh, tetapi penuh sopan santun terhadap orang yang lebih tua.

Yang benar saja, masa' ada yang mau membunuhnya?

Hide tidak habis pikir. Takumi tidak pernah menyakiti orang lain atau membuat siapapun tersinggung, seingatnya. Dia anak laki-laki yang diimpikan semua orang tua—dan keangkuhannya yang kadang-kadang muncul pun hanya ditunjukkan pada teman-temannya. Siapapun yang ingin membunuhnya pasti gila. Hide berdecak-decak lagi, memutuskan kembali fokus pada enam anak itu, dan kembali menelusuri atap-atap dan jalan-jalan sempit di bawahnya—yang terlihat sekecil minatur dari udara.

Ia terkesiap begitu melihat enam titik yang sudah sangat dikenalnya. Di jalan sempit di dekat pertigaan, tampaklah... perkelahian? Mayat-mayat tentara begelimpangan—terlihat seperti tentara, karena seragam mereka yang mencolok—senapan-senapan dan peluru-peluru bertebaran di jalan berumput. Hide menurunkan posisinya lebih dekat ke daratan. Lebih banyak yang terlihat: cipratan darah mengotori jalan, beberapa tentara yang sekarat, dan beberapa yang masih segar—dibekali senapan dan pistol yang kini terlihat tidak ada gunanya dibandingkan tombak, pedang, dan kapak yang dibawa musuh—tunggu... mereka?

"Apa-apaan ini?" teriaknya pada kerumunan di bawah sana, suaranya yang serak meningkahi deru angin yang tiba-tiba bertambah cepat. Hide yakin tidak ada angin hari ini.

Musuh tentara-tentara itu adalah enam orang yang ia cari. Para pengendali elemen yang bersenjata. Ia bahkan bisa melihat Genma dan Rira melayang-layang sedikit lebih rendah di hadapannya, seekor kucing—seingatnya namanya Metsuki—berpegangan pada bahu Rira, bersama tentara-tentara yang masih bersemangat melanjutkan perkelahian ini—atau begitulah yang terlihat oleh Hide. "Hide! Otou-san!" teriak Genma, senyum lebar merekah di wajahnya. "Ke mana saja kau selama ini?"

"Hentikan, hentikan, hentikan," geleng Hide. Dipelototinya tentara-tentara yang masih memegang senapan tersebut. "Pergi kalian. Jangan ganggu anak-anak ini."

"Hide!" teriak seorang tentara—entah yang mana, karena seragam mereka begitu mirip satu sama lain. "Pengacau cilik ini pantas diberi balasan. Mereka sudah membunuh teman-teman kami!"

"Ya, dan aku akan membunuhmu juga kalau kalian tidak pergi," Hide balas membentak. Ia terbang mendekati pria itu. "Pulang, atau akan kulaporkan pada Űbeltat bahwa kalian telah menyalahi tugas yang diberikan pada kalian. Pergi!" teriaknya, menciutkan nyali tentara-tentara yang tersisa. "Tunggu apa lagi? Pergi atau kubakar kain murahan yang melekat di kulitmu itu dengan api yang tidak bisa padam oleh air dan tanah. Jangan pura-pura berani, Tuan-tuan. Pergi."

Tentara-tentara itu ketakutan sekarang. Mereka terbang pergi—beberapa berlari pergi—tanpa memedulikan mayat-mayat temannya yang tergeletak di jalan.

Hide menatap enam anak itu satu persatu. Ia menggeleng-geleng. "Kalian menyalahgunakan senjata itu."

Genma menyela. "Kami hanya membela diri—"

"Ya, dan sekarang terungkap, 'kan, apa kita sebenarnya? Para pembunuh amatiran." Pria itu tertawa. "Ke rumahku. Cepat. Akan kuminta seseorang membereskan... kekacauan ini, tapi bukan sekarang. Nanti, di mansion. Aku sudah menemukan pangeran kalian."

Mata Ayumi melebar. "B-benar?"

Hide mengangguk. "Ya, dan dia aman sekarang. Sudah mandi dan berpakaian layak." Tatapannya teralih pada pakaian yang dikenakan para pengendali elemen. "Apa-apaan ini? Berpakaian seperti gelandangan, ya?"

Higina membalas pertanyaannya dengan anggukan antusias. "Untuk penyamaran, agar tidak terlalu diperhatikan."

"Di Pyrretraff, pakaian gelandangan akan menarik perhatian banyak orang, Belle Natura," Hide tertawa. Ia menggeleng, kemudian berbalik dan terbang pergi. Enam anak itu mengikutinya. "Bahkan pelacur pun berpakaian bagus di sana. Ayolah, cepat. Sebentar lagi malam."

***

"Kami tidak berhasil menemukan mereka, Milord," kata Cerdic dengan penuh penghormatan. Lututnya ditekuk, dan wajahnya ditundukkan serendah mungkin, tidak berani menatap Űbeltat secara langsung. "Kami sudah menanyakan semua orang, menjelajahi seisi Pyrrestia—tapi Mildgyd dan Mildred menghilang seperti—seperti—"

"Seperti kertas menjadi abu," gerutu Űbeltat. "Bodoh. Memangnya ke mana lagi mereka kalau bukan di sini? Terjun ke laut? Bah." Andaikan di ruangan ini tidak ada orang lain selain ia dan setengah pasukan tentaranya, Űbeltat pasti sudah menendang mereka satu persatu. Pelayan-pelayan rendahan berkeliaran di sekitar mereka, membersihkan guci-guci mahal yang tertata rapi di pinggir ruangan. Pamornya tidak boleh turun bahkan di hadapan rakyat jelata sekalipun.

"J-jangan khawatir, Milord," seorang tentara lagi, Osbeorn, menyela. "Di alun-alun kota, kami menemukan seorang remaja yang sepertinya tahu letak Mildgyd dan Mildred, karena dia berusaha melindungi pelacur-pelacur itu. Kami sudah menangkap dan mengikatnya, dan setengah pasukan kami melanjutkan pencarian ke tempat lain—tempat yang ditunjuk remaja itu."

Mendengar hal itu, Űbeltat menghela napas. "Hmm. Bagus." Namun, ia tidak terlalu senang. Ada yang aneh dari "remaja" ini, karena Osbeorn mengatakannya dengan suara bergetar. Mungkin pencarian itu tidak berjalan sesuai rencana?

"Berita buruknya, kami sempat diserang," sela Cerdic lagi. "Sebuah tombak misterius ditembakkan dari balik atap penduduk ke arah alun-alun, tepat ketika Komandan Cuthberht sedang menanyai remaja itu. Komandan Cuthberht tidak sempat menyingkir." Suaranya berubah getir ketika ia melanjutkan. "Kepalanya... rusak parah, Milord. Mungkin kami harus kembali dan mengambil jasadnya."

"Dan, anehnya, remaja itu tidak terkejut!" celetuk salah seorang tentara di barisan paling belakang. "Dia bertingkah seolah-olah... seolah-olah dia yang merencanakan penyerangan itu. Mungkin dia agak... gila, Milord," dan pria itu terkekeh sendiri, menertawai perkataannya.

Űbeltat memalingkan wajahnya dan menggertakkan giginya. Napasnya seolah tertahan di tenggorokan. Dimain-mainkannya jemarinya, tidak tahu harus berbuat apa, sementara otaknya berpikir keras. Ada sesuatu dalam dadanya yang meledak, membuncah-buncah karena marah. Bukan, bukan karena Mildgyd dan Mildred tidak berhasil ditemukan ketika Űbeltat ingin memancung kepala mereka dan menjadikannya hiasan di kamar tidurnya. Remaja itu.  Remaja sialan itu, yang entah membantu pasukan tentaranya mencari Mildgyd dan Mildred atau justru menyusahkan mereka. Ada yang... mengerikan darinya.

Űbeltat, sesinting apapun ia, tetap seorang pengendali elemen. Dan insting seorang pengendali elemen tidak bisa dibohongi.

"Bagaimana rupanya? Remaja itu?" tanyanya, sambil meremas-remas jemarinya satu sama lain. Ditatapnya pasukan tentaranya satu persatu.

Lagi-lagi, Cerdic yang menjawab. Pria itu seolah terlatih menyampaikan berita-berita buruk.

"Bermata hijau, mungkin mata hijau paling menawan yang pernah kulihat... sungguh. Dan rambutnya merah. Semerah darah, Milord. Ia memakai pakaian lusuh—mungkin gelandangan. Tapi tatapannya tegar, seperti pemimpin—atau, mungkin, seperti ksatria."

ElementbenderWhere stories live. Discover now