1.4: Snowfalls and Fire

5.3K 235 14
                                    

Sesaat setelah Aya menyalakan mobil sedan peninggalan orang tuanya dan mengemudikan mobil menuju rumah, Ame menghenyakkan diri di kursi sembari memandang pemandangan di depannya. Apa yang dilihatnya terasa... jauh. Sangat asing. Jalan raya beraspal, gedung-gedung pencakar langit, segerombolan anak muda berbaju hangat, asap buang kendaraan, semuanya. Ame bukan bagian dari mereka semua. Satu-satunya hal yang dia ingat hanya salju mungil yang jatuh mengotori kaca mobil.

"Bagaimana soal wanita British itu?" tanya Aya, menyadarkan Ame dari lamunan.

"Dia baik," jawab anak laki-laki itu, teringat sosok Helen dengan rambut cokelat digulung ke atas, kacamata persegi berbingkai merah marun, garis wajah khas keluarga royal London. Ditambah poin "berasal dari Oxford", seperti yang dijelaskan Aya beberapa minggu lalu, membuat Ame berpikir mengapa wanita British itu betah tinggal di Fukui.

Ame juga berpikir soal Aya. Kakak angkat yang memberikannya rumah untuk tinggal, makanan untuk bertahan hidup, baju-baju untuk dipakai, sekolah untuk terlihat normal sebagaimana anak seusianya, dan nama sebagai identitas barunya. Aya masih kuliah, tetapi sebentar lagi selesai. Dia sudah memiliki rencana untuk menikah dengan kekasihnya, beberapa tahun lagi... karena hal sebesar pernikahan memang harus direncanakan jauh-jauh hari. Penampilan Aya jauh berbeda dari Ame—matanya hitam bercahaya, kulitnya cokelat terang, rambutnya hitam sebahu, dan senyumnya ramah. Ame kira semua manusia memiliki rambut teal seperti dirinya.

"Bagus. Oh ya, tadi aku beli sweater dan tudung buat rambutmu. Kau hanya sedikit lebih besar dari adik bungsuku, jadi sweater itu pasti muat. Saljunya akan turun lebat nanti."

"Dan tudungnya?" tanya Ame.

Mobil pun berbelok ke arah tikungan permukiman. Atap rumah Aya sudah kelihatan. "Untuk menutupi warna rambutmu, yah..., setidaknya orang akan lebih melihat telinga kucingnya daripada rambutmu."

"Telinga apa—NEE-SAN!" teriak Ame kesal, karena sekarang gadis yang sudah ia anggap kakaknya itu tertawa lepas. "Itu sih keterlaluan!"

"Otouto!" gelak Aya. "Dasar bishie!"

***

Harusnya ada liburan tiga bulan penuh selama musim dingin.

Setelah menurunkan barang-barang belanjaan dari garasi ke dalam rumah, Ame langsung memakai sweater dan tudung barunya, dan berjalan-jalan di luar. Aya kembali menyalakan mesin mobil karena ada kuliah yang harus diambil. Kasihan. Padahal, 'kan, sekarang hari Minggu.

Prediksi Aya benar. Di luar, cuaca berubah mendung dan salju turun lebih lebat dari sebelumnya, di mana orang-orang biasanya lebih memilih berdiam di rumah. Kelihatannya dia tidak akan berlama-lama di luar.

Sebelum menjejakkan kaki di lapisan salju tipis di depan gerbang, Ame mengingat sedikit mimpinya.

Suara seorang wanita menangis dan memanggil-manggilku... anakku, putra kecilku.

Di mimpi itu, ia tidak melihat sosok si wanita dengan jelas, agak buram. Namun bukan hanya itu mimpinya.

Seorang pria... Dan seorang pemuda... atau mungkin itu aku? Ketika aku sedang tidur, pria itu masuk lewat jendela dan... membekapku, mengacungkan pisaunya kepadaku. Aku berontak, tapi cengkeraman si pria lebih kuat, dan ketika aku tidak bisa bergerak lagi, dia... selanjutnya apa?

Dia harus mencari tahu siapa pria itu. Ya. Pasti ada di suatu tempat (Helen bilang, manusia tidak pernah memimpikan wajah yang tidak pernah dilihatnya, maka wanita dan pria dalam mimpinya itu pasti juga nyata). Lagipula, Ame masih ingin mengetahui lebih banyak tentang kasusnya. Apakah sebelumnya dia adalah seseorang yang sama sekali berbeda?

ElementbenderΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα