33: The Helpers

2.3K 97 3
                                    

Takumi dan keenam pengendali akhirnya meninggalkan pinggiran lautan cat berbau polimer itu.

Menyebalkan juga, sebenarnya—ia dan para pengendali elemen mendapatkan masing-masing satu luka menyeramkan di bagian tubuh mereka. Dan ini luka terburuk yang didapatkan Takumi semenjak ia selamat dari tabrakan taksi, tiga tahun lalu. Sang supir taksi diketahui menenggak terlalu banyak alkohol sehingga Takumi—Ame, waktu itu—nyaris menjadi korban. Rasa panas membakar di punggungnya lebih dari segala luka yang pernah ia punya. Dan ia masih ingat soal tangannya yang baru saja dipelintir.

Mereka berlari ke arah gang sempit di antara pepohonan raksasa secepat mungkin. Kalau ada lebih banyak elf—atau boneka-boneka—berdatangan, bisa kacau urusannya. Takumi membersihkan semak liar yang memblokir jalan setapak di tengah gang sempit tersebut, memastikan tidak ada duri yang tersisa, kemudian melangkah maju. Para pengendali elemen mengikuti.

Di jalan sempit ini, tanah di bawah kaki mereka lebih lembut dan subur. Sedikit rerumputan hijau mencuat dari lubang-lubang tanah yang renggang, beberapa malah ditumbuhi bunga. Cabang-cabang pohon raksasa yang menjadi dinding gang tersebut memayungi mereka dari sinar matahari terik—dedaunan di sini tidak layu, untunglah. Sementara di langit, suasana mendung dan udara tiba-tiba berubah dingin. Sapuan angin tajam menusuk kulit mereka. Rasanya seperti berjalan di antara tumpukan es batu.

Tabitha mendekap tubuh, mengernyit ketika rambutnya menyentuh luka itu, kemudian melonggarkan dekapannya. “Mau hujan.”

Benar. Langit di atas—meskipun mereka tidak bisa melihatnya dari sini, tertutup rimbunnya daun-daun—mulai mendung, dan hujan pun turun. Air hujan jatuh membasahi tanah cokelat yang liat. Beberapa titik merembes mengenai luka di tubuh keenam pengendali elemen, bahkan mengalir masuk ke dalam punggung tuksedo Takumi. Ketujuh orang itu meringis.

“Tidak ada tempat berlindung, apa?” teriak Higina, berusaha mengalahkan derasnya hujan sambil menyejarkan posisi dengan teman-temannya. Mereka berlari sekuat tenaga. Ayumi tersandung batu-batuan sekali, ia hanya terjungkal sedikit; lututnya tergores, tetapi gadis itu memaksakan diri untuk berlari lagi. Luka panas yang semakin memburuk ketika air hujan menyentuhnya tersebut tidak menghentikannya.

Gang itu semakin meliuk dan mendalam, sebarisan rumah para elf sudah kelihatan di kanan-kiri mereka. Takumi ingin memanjat naik dan mengetuk pintunya, atau hanya berteduh di bawah terasnya—tetapi ia ngeri terhadap elf-elf boneka tadi, sehingga pemuda itu justru berlari lebih cepat. Sakura nyaris mendahuluinya—sebelum bahunya terantuk sebatang pohon raksasa. Sang pengendali angin terempas beberapa sentimeter ke belakang.

Sakura cemberut, mengusap bahunya yang sakit. Teman-temannya buru-buru menghampirinya.

“Jalan lagi, Sakura,” kata Ayumi sopan, berhasil menyusulnya. Diremasnya bahu Sakura pelan. Gadis itu menangkap ekspresi mengernyit di wajah sang pengendali angin, diikuti batuk-batuk lemah dan isakan samar. Tiba-tiba, Sakura menundukkan kepala—sebelah tangannya menutup mulut, kemudian ia mulai batuk lagi. Darah mengalir dari sela-sela jemarinya. “Astaga!” Ayumi terkesiap. Dipapahnya tubuh kurus Sakura dan dipanggilnya teman-temannya. “Dia masih kesakitan. Istirahat dulu, ya?”

Para pengendali elemen berkumpul. Takumi baru menyusul beberapa detik kemudian, karena sebelumnya ia berlari paling cepat. Sakura menyeka darah bercampur liur di dagunya, menatap mata-mata khawatir milik teman-temannya, dan menggeleng.

“Nih,” tangannya terulur. Jemari rampingnya menunjuk pohon yang ditabraknya—lebih tepatnya ke ukiran pintu yang ada di kayunya. Itu benar-benar pintu. Badan pintu yang dicat sewarna kayu mengecoh siapapun yang lewat, membuat pohon raksasa itu terlihat seperti pohon biasa. “Siapa tahu pos jaga kosong. Coba saja.”

ElementbenderUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum