73. Kill His Majesty, Kill His Illusion

1.6K 101 15
                                    

Brukk. BRUKKK.

"Buka pintunya, sundal nakal! Pencuri! Buka, atau kami dobrak...!"

"Ayo, ayo, ayo, ayo," gumam Sheila samar, sementara satu persatu tamunya memasuki pintu rahasia di bawah kuali dapur. Tangannya—yang gemetaran mendengar suara di luar—dengan cekatan membantu sayap-sayap mereka agar muat ke dalam lubang tersebut. "I-ibuku tahu apa yang dia lakukan, kok. T-tenang saja."

Gadis itu menjadi yang terakhir kali masuk, setelah Genma. Suasana gelap dan kotor menyambut mereka setibanya di ruang rahasia. Lapisan airnya seolah memiliki bulir-bulir debu, dan—mereka mencium-cium—aroma daging busuk. Ruangan seperti ini pasti memiliki sejarahnya sendiri... sejarah yang melibatkan pemotongan daging atau apalah....

Dalam kegelapan, mereka bisa melihat bahwa ruas-ruas sirip Sheila bercahaya. Gadis itu menggunakan cahayanya untuk mencari-cari sesuatu di dinding—dia berenang dari satu sisi ke sisi yang lain, meraba-raba permukaan tembok, merogoh-rogoh ke dalam celah-celah di dinding—hingga di tangannya terdapat kurang lebih sepuluh ikan-mirip-siput lembek berlendir yang masih menggeliat-geliat. Shoreal muda itu kemudian merobek setiap siput menjadi dua; satu persatu; dengan gigi-geliginya. Suara remukan basah teredam dan darah yang terciprat mengisi ruangan hening tersebut.

Takumi, Genma, dan Rira menatap sang gadis dengan curiga.

Higina, Sakura, dan Tabitha mendadak mau muntah.

"Tunggu sebentar, ya," sang gadis shoreal berkata tak peduli. Menggunakan sebelah tangannya yang bebas, dibalurkannya darah siput itu ke sekeliling dinding. Bekas darah tersebut berwarna neon biru terang. "Nah. Darah conchella... bisa dijadikan lampu darurat."

"Tempat apaan nih?" tanya Takumi pelan. Tadinya ia mau menanyakan soal sirip Sheila yang menyala, tetapi diurungkannya.

"Tidak tahu. Yang jelas tempat ini sudah ada sejak... sejak... sejak lama sekali; aku tidak ingat," Sheila menggeleng-geleng. Dikibaskannya tangan ke sekeliling. "Silahkan lihat-lihat. Ambil yang kalian butuh. Ibu mengizinkan, kok—"

BRUAKK.

Suara-suara dari atas terdengar. Dari kedengarannya, sepertinya pintu pondok telah berhasil dibuka.

"Di sini kau, sundal nakal. Masih cantik seperti dulu, kelihatannya."

"Salahku apa, Clovos?"

"... mengguna-gunai hiu penjaga kesayangan Tuan Grey Froth. Lihat? Kezver enak-enakan di depan rumahmu, bukannya patroli keliling. Pembunuh itu harusnya menelan pondok ini bulat-bulat dari tadi!"

"Heh? Kezver? Si kerang busuk itu punya selera penamaan yang aneh, ya?"

"Aaargh. Fabon! Hageeen!"

Suara perabotan pecah dan teriakan Flakea terdengar, kemudian suara tamparan, hentakan, desauan air, dan kemudian hening.

Sheila dan ketujuh remaja tersebut terdiam selama beberapa menit. Jantung mereka berpacu. Mereka menunggu selama beberapa saat lagi, memastikan tidak ada lagi shoreal berbahaya di atas sana. Dan memang tidak terdengar keributan lagi. Pondok itu sunyi senyap.

"Hiunya," desis Ayumi, dengan napas tercekat.

Ia nyaris melupakan hiu itu—hiu yang sebelumnya mengikutinya ke sana ke mari itu. Tadi, saat mereka memasuki rumah Flakea, ia memang membiarkannya berenang-renang di halaman depan. Mana mereka tahu bahwa hiu itu masih menunggu Ayumi di sana. Dan merupakan hiu peliharaan Grey Froth.

"Rasanya hiu tadi perempuan, deh," celetuk Tabitha, entah pada siapa. Ditepuk-tepuknya bahu Ayumi seperti anak kecil mengusir lalat. "Tempat apa ini, ngomong-ngomong? Kau tidak ingat, Sheila?"

ElementbenderWhere stories live. Discover now