79: Crimson Floors and Stone Basements

855 54 4
                                    

Hal paling menyebalkan bagi Takumi—selain dikritik orang lain, tentu saja—adalah terjebak di suatu ruangan tanpa harapan bisa keluar.

Bayangkan ini: tertahan dalam kungkungan ruangan tanpa pintu yang bisa dibuka dari dalam, hewan-mirip-lintah menjijikkan yang berjatuhan dari langit-langit, seorang shoreal yang hanya sejengkal lagi dari kegilaan padahal sebelumnya sangat waras, dan keenam temanmu yang entah mengapa bangun tanpa pakaian mereka. Takumi mendecakkan lidah. Kalau ini bukan hal tersinting yang pernah dialaminya semenjak datang ke Evaliot, ia tidak tahu apa lagi.

Flakea kini menyerah. Tubuhnya melemas dalam cengkeraman Takumi, perlahan-lahan merosot ke permukaan lantai. Teriakan-teriakannya sekarang tidak lebih dari gumaman samar belaka. Namun pemuda itu masih curiga sang wanita akan bertindak lebih lanjut, jadi tetap digenggamnya tangan Flakea erat-erat. Posisi begini terus membuatnya pegal. Andaikan di sini ada tali.

Takumi mengalihkan pandangannya pada ketiga pengendali elemen yang telah bangun (sambil menahan keinginannya untuk tertawa, tentu saja—lihat saja 'pakaian' mereka!), dan bertanya. "Kalian benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa, ya?" Ia merujuk pada pengendalian mereka. Dari sedikit-banyak hal yang telah dipelajarinya tentang pengendalian elemen, ia hanya paham bahwa mereka tidak boleh kelewatan batas, tidak boleh diperhatikan saat membuat sesuatu, tidak boleh ini-itu—apalah maksudnya. Tapi di saat genting seperti ini? Yang benar saja.

Ups, mungkin suaranya terdengar lebih jutek dari yang ia harapkan. Terbukti dari balasan Higina. "Kalau kami bisa, sudah kami lakukan dari tadi, Yang Mulia. Ada yang mau kuguncangkan tempat ini supaya pintunya roboh dan kita bisa keluar?" Higina melirik dengan sinis. Tidak perlu bertanya pun semua tahu bahwa penawaran itu hanya ungkapan retoris. "Tidak. Bisa-bisa malah kita yang terkubur hidup-hidup... atau lebih parah lagi, seisi Lunaver. Aku mungkin bisa membuat palu, tapi tidak ada tanah apapun yang bisa diambil di sini. Jadi... bersabarlah, oke?"

Takumi terpaksa mengangguk. Meskipun masih bingung.

Ia kembali sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri—karena memang itulah yang selalu ia lakukan di waktu senggang; otaknya seperti editor yang mengecek ulang data-data yang diterimanya hari ini. Ia memikirkan conchella di langit-langit; memikirkan ingatan yang didapatkannya kembali beberapa saat lalu; memikirkan pengendali elemen; memikirkan... Ayumi. Bagaimana keadaannya sekarang, apakah gadis itu baik-baik saja; bagaimana soal si pria bernama 'Grey Froth' yang terakhir kali bersamanya, bagaimana kalau dia....

Perutnya mendadak dingin. Grey Froth. Hampir saja lupa. Ayumi masih di sana, bersama seorang pria yang kelihatannya lebih berbahaya daripada tiga pengendali pengganti disatukan sekaligus. Apa gadis itu bisa mengatasinya seorang diri? Logika Takumi mengatakan tidak, tetapi hatinya membisikkan semoga saja. Tidak banyak yang bisa mereka harapkan sekarang. Bersikap gelisah hanya akan memperburuk keadaan.

Namun, bayangan akan Ayumi bersama dengan pria dewasa lain  saja sudah membuatnya tidak nyaman. Seperti rasa cemburu, tetapi jauh lebih buruk.

Takumi menghela napas dan  memendam pikiran tersebut dalam-dalam. Para pengendali di sini juga mengalami masalahnya sendiri sekarang. Tabitha masih terdiam, punggungnya bersandar pada satu-satunya bagian dinding yang bebas darah; Higina berputar-putar tanpa arah di sekeliling ruangan; Rira terpekur di dekat pintu-yang-tidak-bisa-dibuka. Kalau mereka saja tidak tahu harus berbuat apa, apalagi dirinya?

Suara pelan Tabitha mengagetkannya.

"Dari mana dia datang?" Ucapan itu ditujukan untuk Flakea. "Flakea; bagaimana kau bisa ke sini? Pasti lewat pintu, 'kan?" Tabitha berenang mendekat; hingga jaraknya terhadap perempuan itu hanya semeter jauhnya.

ElementbenderWhere stories live. Discover now