21.1: Painting the Roses Red

2.7K 137 1
                                    

Pada siang menjelang sore itu, pelayan muda yang bertubuh paling mungil sedang mengelap guci hias di koridor istana ketika mendengar ribut-ribut dari arah para pelayan. Mereka berkerumun di depan sebuah jendela kolosal di dekatnya, seolah menonton sesuatu. Gadis fayre muda tersebut tidak menggubris, sebelum ribut-ribut di sebelahnya bertambah ramai dan ia tidak bisa menahan diri lagi. Dijatuhkannya kain pengelap dan pengebut debu ke lantai dan menghampiri mereka. Paling tidak berusaha mencuri dengar sedikit.

Seorang pelayan dengan celemek berbalut darah ikan di antara mereka berkata keras-keras. "Dengar-dengar, itu pertanda salah satu prajuritnya berhasil dikalahkan!"

Dari balik jendela besar, dan dari sudut pandangnya, gadis itu hanya bisa melihat langit sore yang mendung. Apa hubungannya antara prajurit dan langit mendung?

Pelayan bertubuh mungil itu memutuskan mengabaikan mereka—pelayan-pelayan lain, jendela kolosal, langit mendung—sekaligus berhenti menyesali tinggi badannya. Ia memungut kain pengelap dan pengebut debu dari lantai, kemudian berjalan pergi.

Istana ini sudah berbeda semenjak hilangnya Raja dan Ratu. Dan, tentu saja, setelah raja baru menduduki takhta. Gadis itu mengira hanya akan ada satu-dua perubahan—sayangnya tidak. Ada banyak perubahan-perubahan di istana yang tidak ia mengerti. Contohnya: area di dekat pintu bawah tanah selalu berbau darah, tidak peduli berapa kali pelayan membersihkannya.

Perubahan terbesar adalah ketidaknyamanannya terhadap peraturan baru di dunia elemen. Cukup wajar, sebenarnya, tetapi sangat tidak pada tempatnya. Jalur perdagangan dan pertambangan, misalnya. Belum lagi ada perubahan detail-detail yang belum ia ketahui di luar sana, terhalang dinding tebal istana.

Setelah lama berjalan, gadis itu baru menyadari bahwa koridor ini bercabang. Salah satunya akan membawanya ke perpustakaan. Ya, lebih baik ia membersihkan buku-buku malang tersebut dari debu setelah bertahun-tahun tidak dibuka. Dulu, setiap kali akan merapikan perpustakaan, ia selalu bertemu Pangeran Takumi di sana—membaca bertumpuk-tumpuk buku teori apabila tidak sedang mengunjungi rakyat dan teman-temannya. Sekarang, perpustakaan itu membuatnya merinding. Siapapun yang masuk ke dalamnya seolah masih bisa mencium aroma tubuh sang pangeran.

Sementara cabang satunya..., si pelayan sudah menolak masuk ke sana selama lima tahun belakangan ini. Koridor itu mengarah langsung ke kamar sang pangeran. Kamar megah bernuansa biru dan emas itu sekarang diblokir—pintunya disegel papan kayu berpaku dan isi di dalam ruangan tidak pernah disentuh lagi semenjak hari naas itu, atas permintaan sang mantan Ratu. Seprai dibiarkan berantakan, kertas-kertas pelajaran berserakan dan genangan darah di tempat tidur tidak dibersihkan—mungkin sekarang sudah mengering. Hanya jendelanya yang ditutup kembali—kemudian disegel dari luar. Sulit membayangkan ada "kamar hantu" di antara ruangan-ruangan indah di istana.

Si pelayan tersadar dari lamunannya, dan tanpa sengaja menoleh ke arah salah satu jendela kolosal yang dilewatinya. Ia melihat apa yang para pelayan ributkan sebelumnya—beberapa mawar layu di kebun istana meneteskan darah.

***

Ruang "singgasana"—paling tidak begitulah beberapa orang berjubah cokelat menyebutnya—yang sebenarnya adalah puing-puing ruang makan sekaligus markas pertemuan para tetua Gaelea beserta sang mantan pengendali, Higina Kaijou. Penguasa baru ini suka memanggil gadis itu dengan sebutan unik: ibu.

Meja itu tetap berdiri kokoh. Berpotong-potong kue basi dan pecahan-pecahan piring berserakan di atasnya, sebuah pemandangan menyedihkan yang disukai sang penguasa baru. Kursi-kursi pecah berkeping-keping, kecuali kursi tempat penguasa baru ini duduk—satu-satunya kursi berlapis beludru di ruangan itu. Sang penguasa memiringkan kepala; mata bundarnya mencari-cari sesuatu. Rasanya ia melihat tikus entah di mana.

Pintu ganda di hadapan meja terayun membuka. Seorang jenderal pasukan buru-buru memasuki ruangan setelah menendang sisa-sisa nampan kayu di lantai dan melepas tudung jubahnya, memperlihatkan wajah khas kaum fayre yang kini dipasangi pelat besi di kepalanya. 

Pelat besi itu meracuni pikiran mereka perlahan-lahan. Entah bagaimana, mereka menjadi semakin mematuhi Arashi dan semakin membenci Belle Natura. Sang penguasa baru pun tidak keberatan dengan perubahan penampilan sebagian rakyatnya tersebut; karena dia sendiri yang memasangkannya ke kepala mereka. Menurutnya, ide mengganti susunan otak dengan sejumput sihir dan pengendalian kehidupan yang buruk itu oke juga.

Sang jenderal membungkuk hormat kepada sang penguasa baru. Dia tidak berani menatap mata bundar majikannya yang sekarang melebar dengan penuh ingin tahu.

"Baru pertama kalinya. Ada apa, René?" suara lembut tetapi maskulin yang dikeluarkan sang penguasa memecahkan keheningan selama beberapa detik. Kemudian sunyi lagi. "Tidak biasa... maksudku, tidak biasanya. Ada apa, René?" ia mengulang. Suaranya mulai gemetar.

René menggigil ketakutan sebelum berbicara. "Dia—dia... sudah ditemukan."

Sang penguasa baru melonjak antusias. "Ibuku sudah ditemukan?"

"I-iya, Y-Yang Mulia. I-ibumu."

Mengabaikan perubahan sikap yang ditampilkan laki-laki tersebut, ia mengulang lagi. Kulit pucat susunya sampai  memerah karena senang. "Ibuku sudah ditemukan!"

Sebenarnya, wanita yang dimaksud René memang bukan benar-benar ibunya. Pemuda yang menjadi penguasa baru itu hanya terlalu lama hidup dalam khayalan, menyembunyikan tubuh mungilnya di pusat Gaelea.

ElementbenderOnde histórias criam vida. Descubra agora