1.1: Lost Discovery

6.4K 337 16
                                    

Laki-laki muda itu sudah beberapa jam di atas tempat tidur.

Tim dokter sudah membius dan menjahit dua luka besar di punggungnya, kini tinggal menunggu sang pemuda agar terbangun. Mantel hitamnya telah digunting dan dibuang agar tidak menimbulkan infeksi. Sekarang ia telanjang dada.

Mereka menemukan orang ini pingsan di hutan pinggiran kota, tepatnya di sebuah cekungan dangkal di lantai hutan yang sebelumnya tertutup salju kotor. Punggung pemuda itu berdarah-darah, di mantelnya terdapat dua sayatan besar—memperlihatkan kulit punggung si pemuda yang memiliki dua luka tersebut. Aneh sekali mengetahui dua sayatan di mantel tersebut sepertinya memang sengaja dibuat; dijahit rapi, seperti lubang tempat memasukkan lengan dalam sebuah kaus—dua luka itu juga kelihatannya bekas tempat melekat sesuatu. Seperti amputasi. Namun hal itu bukan masalah. Mereka tinggal menjahitnya, membawanya ke ruang perawatan, menunggu seseorang mengklaim laki-laki ini sebagai anggota keluarga mereka, sudah. 

Di samping tubuh pemuda itu, saat mereka menemukannya, juga terdapat sebilah pisau bebercak darah. Pisau itu kini diamankan polisi. Cairan merah kering yang membanjiri permukannya tidak bisa menutupi ukiran-ukiran cantik yang terdapat di bilah logamnya.

Ada saksi yang berkomentar; ukiran di pisau itu bukan berasal dari budaya negara ini.

Lalu dari mana? Apa laki-laki tersebut bukan berasal dari Jepang? Sulit memastikan. Polisi tidak menemukan identitas apapun di sekitar tempat kejadian perkara. Kemungkinan dia adalah percobaan pembunuhan yang gagal, kemudian dibuang di tengah hutan untuk menghapus jejak.

Aya Matsuzaki, seorang mahasiswi tingkat akhir begitu antusias akan laki-laki ini. Aya tidak mengenalnya, tetapi berencana membantunya. Salah seorang anggota keluarga temannya menghilang seminggu yang lalu. Mungkin saja dugaannya benar.

"Kalau dugaan Anda salah, Matsuzaki-san?" pertanyaan dokter yang sedari tadi mendampingi Aya mengagetkannya. "Lagipula warna rambut anak ini... bukan hitam. Bukan rambut palsu. Bukan pula karena dicat."

Hening sesaat sementara gadis itu mencerna perkataan sang dokter kepadanya.

"Oh," Aya menghela napas. "Kalau dia bukan anak laki-laki yang hilang itu, saya akan tetap membantunya, mungkin."

Sang dokter tersenyum bijak. "Anda benar-benar berhati mulia."

Aya membalas senyum.

Langkah mereka terhenti di depan ruang perawatan intensif yang biasa digunakan pasien pasca operasi. Gadis itu menempelkan keningnya di permukaan kaca jendela ruangan tersebut, mencoba melihat laki-laki itu tanpa masuk ke dalam ruangan. Tidak, kacanya terlalu buram dan tempat tidurnya sendiri ditutupi tirai hijau khas rumah sakit.

Dokter itu, yang juga memimpin operasi penjahitan luka di punggung si laki-laki misterius, membuka pintu ruangan dan mempersilahkan Aya masuk.

Dan gadis itu pun masuk. Pertama-tama ia memerhatikan seisi ruangan tersebut beserta peralatan-peralatan rumah sakitnya—warna serba putih yang membuatnya tegang, bau kapas steril, lampu bercahaya menyilaukan di langit-langit, bahkan—

suara napas.

Ya, ada suara napas seseorang yang tengah tidur. Mungkinkah anak itu sudah bangun? Aya menoleh pada sang dokter, mengangkat bahu. Mereka menyibak tirai yang menutupi ranjang pasien dan Aya terhenyak.

Seorang anak laki-laki, kurang lebih 17 tahun, terbaring di sana. Kaki dan pinggangnya ditutupi selimut hijau muda, sehingga Aya bisa melihat bahwa laki-laki itu tidak memakai kaus apapun. Kulitnya pucat keabuan, dan menunjukkan tanda-tanda demam. Matanya terpejam.

Ya Tuhan, pria ini benar. Warna rambutnya aneh.

Laki-laki itu memiliki rambut berwarna biru kehijauan di kepalanya, begitu pula dengan alis dan bulu matanya. Kelihatannya sangat alami. Ada bintik-bintik mungil berwarna emas di bawah matanya yang kilaunya timbul-tenggelam di bawah sorotan lampu. Aya mengalihkan perhatiannya ke tubuh si pemuda. Dadanya—yang dililiti perban pasca operasi—bergerak naik turun menghela napas, seolah-olah pernapasan burung yang sering terbang.

"Yah, dia bukan orang yang kucari," kata Aya akhirnya. "Siapa namanya? Dia sempat sadar?"

Sang dokter berdeham. "Sempat sadar beberapa menit, sesudah itu kami memintanya istirahat," katanya. "Anak ini tidak berkata apa-apa soal namanya. Kami bahkan ragu dia mengingatnya."

"Hilang ingatan?" Aya mengangkat sebelah alis. Kasihan sekali dia.

"Tidak diragukan lagi. Kami menemukan bekas pukulan benda tumpul di belakang kepalanya, tujuh tusukan di dadanya...." ia berjalan mendekati si pemuda misterius, menyibak helaian rambut teal-nya. "Sungguh suatu keajaiban dia masih hidup... dengan sejumlah bekas luka dan pukulan di tubuhnya, bahkan tidak menunjukkan gejala kurang darah."

Mahasiswi fakultas akuntansi tersebut menumpukan tangannya di atas ranjang pasien. "Anak ini pasti bisa bela diri... keturunan biksu atau semacamnya."

Dokter itu akan tertawa, tetapi diurungkannya dan meninggalkan Aya bersama si pemuda misterius tersebut sebagai gantinya. "Setidaknya sekarang dia berada di tangan yang aman."

Dan pintu ruangan pun ditutup.

ElementbenderWo Geschichten leben. Entdecke jetzt