3: The Arrival

4K 196 11
                                    

Ayumi yang pertama kali sampai di bumi, tepatnya di hutan pinggiran suatu kota yang diduga merupakan tempat Pangeran berada. Selain itu, Portamortalis memang selalu membawa siapa pun ke tempat ini, begitu pula sebaliknya. Yang pertama kali dilihatnya adalah pita kuning yang terpasang di kayu-kayu pohon. Pita-pita tersebut mengelilingi tempat di mana portal berada, bertuliskan 'police line – do not cross'. Pita-pita yang sudah keriput dan terlupakan, tidak disentuh selama bertahun-tahun.

"Aku kira tempat ini tidak tersentuh manusia," gumam Sakura, memanjat naik dari dalam portal. "Sepertinya sudah banyak dirusak, ya."

Beberapa pohon di hutan itu ditebang tanpa diganti dengan pohon yang baru. Bekas api unggun, bahkan pasak-pasak tenda tempat manusia berkemah masih bisa terlihat. Di dunianya, hutan adalah tempat yang dilindungi. Penghuni Evaliot tidak bisa mempergunakannya sembarangan.

Setelah semuanya naik ke daratan, mereka terdiam sesaat, memikirkan apa yang harus dilakukan setelahnya.

"Sakura, untuk tinggal di dunia manusia...." celetuk Tabitha. "Kita harus punya alat tukar. Uang."

"Uang..." gumam Sakura. Dialihkannya pandangannya ke arah Higina. "Kau bisa mengatasi yang itu juga 'kan?"

***

"Tadaima."

Ketika Ame pulang ke rumah di siang hari karena dosennya izin pada mata pelajaran terakhir, Aya sedang terpekur di kursi ruang tamu sambil mengurut pelipisnya. Dia tidak memerhatikan adik angkatnya yang berjingkat-jingkat di depannya, berhenti tepat di hadapan Aya sambil melambai-lambaikan tangannya. Wanita itu bahkan tidak menoleh.

"Nee-san?" tanya Ame heran, melambai-lambaikan tangannya sekali lagi; kali ini tepat di depan hidung kakaknya. Masih tidak diacuhkan. "Kenapa?"

Hari ini Ame memakai tudung putih-biru bertelinga kucing miliknya. Ia nyaris melupakan tudung konyol itu. Warnanya lembut—putih dan biru pastel—dan tambahan telinga kucing di atasnya membuat Ame merasa seperti anak kecil. Namun, dipakainya juga.

"Ame, sudah pulang?" tanya Aya akhirnya. Suaranya terdengar letih. "Tadi aku ketiduran. Mmm... apa yang kau tanyakan tadi?"

Ame mengangkat bahu, kemudian beranjak ke kamarnya sendiri. Setelah melempar tasnya, ia kembali ke hadapan wanita itu. "Bukannya Aya-nee harus kerja hari ini?"

Yang ditanya menghela napas, merapikan beberapa helai rambutnya.

"Ada ancaman bom di kantorku yang kemudian tidak terbukti, jadi setiap karyawan diminta pulang cepat," jelasnya sambil tertawa pelan. "Lucu sekali 'kan? Nah, bukan itu masalahnya. Aku sedang pusing soal pernikahan nanti."

Ame tidak menganggap hal itu serius. "Pernikahannya kan, masih beberapa bulan lagi."

"Ame, kau tidak mengerti, ya? Pernikahan butuh persiapan dan segala macamnya!" kata Aya gemas. "Memangnya kau tidak—tunggu. Jangan bilang kau tidak tahu apa itu pernikahan."

Ame akan berkata ya, sebelum menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa soal pernikahan selain bahwa itu adalah ritual pengikatan antara dua orang yang saling mencintai... dan akhirnya menggeleng. "Yah. tidak. Apa?"

"Ya ampun."

Menarik. Ini dia satu poin yang membuktikan bahwa Ame kemungkinan mengalami hilang ingatan total (atau dia hanya melupakan bagaimana caranya menjadi manusia, seolah-olah dia jelmaan alien atau semacamnya). Lima tahun tinggal di Fukui memang membuat cowok itu mengerti sedikit demi sedikit akan teknologi terbaru atau bahasa slang sehari-hari. Namun Aya masih tidak mengerti bagaimana bisa Ame melupakan cara naik tangga, cara bepergian dengan kereta, atau cara memakai ransel (yang ini sudah dipelajari Ame semenjak dia memasuki SMA). Kebanyakan orang yang hilang ingatan tidak mengalami hal seperti itu.

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang