69.2: Seas and Bloods Shan't Mix

1.5K 76 0
                                    

“Sudah aman,” bisik Ayumi.

Mereka keluar dari tempat persembunyian mereka perlahan-lahan, tidak tahu harus berbuat apa. Shoreal kecil yang dipanggil Reia itu belum menyadari mereka. Ia masih tertegun di tempatnya, ekornya mengayun lemah. Dengan lesu, gadis cilik itu kembali ke rumahnya sendiri—sebuah gua mungil berpenutup ganggang hijau—tetapi ia terdiam di pintu, tidak memasuki gua itu lebih dalam.

Ayumi menghela napas, berenang mendekat. Toh Reia adalah salah satu rakyatnya... dulu.

“Permisi?”

Reaksi Reia membuat Ayumi tercengang. Gadis cilik itu tersentak dan langsung menghilang di balik gua kecil gelapnya. Ayumi berenang maju, semakin mendekati taman koral itu, berniat mengetuk dinding luar gua dan memanggil Reia dengan suara yang lebih lembut. Namun, sesuatu menghentikannya.

Aroma darah itu.

Air di sini tercemar darah. Aroma darah yang memancing Takumi dan para pengendali elemen ke sini adalah darah Reia, dan kini air telah tercemar darah salah seorang pria shoreal itu. Kepekatannya membuat gadis itu mual. Ayumi mundur, menoleh ke arah teman-temannya dengan ragu.

“Harus... kita apakan ini? Airnya, Reia, ... mayat itu.”

Rira memisahkan diri dari kerumunan dan memungut shurikennya yang tergeletak di dasar laut. Lemparannya tadi akurat; benar-benar memuaskan. Diliriknya mayat tanpa kepala tersebut, kemudian beralih pada kepala si mayat yang terlontar beberapa langkah dari tubuhnya. Masih mengepulkan “asap” merah ke air lepas.

Suara Tabitha yang mendadak panik mengisi telinganya.

“Kita harus pergi dari sini. Secepatnya.”

“Kenapa?” Higina mengangkat alis. “Kau yang bersemangat ingin ke bawah laut.”

“Memang,” kini, jemari Tabitha telah mencengkeram ke seputar pergelangan tangan Higina. Tabitha masih memegangi lengan Takumi, dan kini ia seolah akan meremukkan keduanya. “Tapi kita harus menjauh. Darah itu bukan dari kita, iya, ‘kan? Nanti kita akan kembali lagi, kalau... kalau sudah aman.”

Teman-temannya mengangguk, meskipun kebingungan—kecuali Ayumi. Ia mulai mengerti maksud Tabitha, meskipun terlalu takut untuk menerjemahkannya.

Mereka baru mundur beberapa ayunan kaki, ketika sapuan air hangat menampar wajah mereka. Lautan mendadak berisik.

Seolah ada seseorang yang mendatangi mereka. Yang memiliki banyak sirip, dan bisa menelan ketujuh remaja itu bulat-bulat. Sapuan ekornya membuat seluruh lautan bergetar.

Andaikan Tabitha tidak menarik mereka lebih jauh dari tempat itu, perjalanan mereka pasti telah berakhir di sini.

***

 “Memang. Hiu tertarik dengan darah,” gumam Takumi sinis.

Sejenak, ia mengira perjalanan (atau petualangan) ini akan berubah menjadi kejar-kejaran antara hiu dengan Takumi dan para pengendali elemen, berputar-putar ke sekeliling lautan seperti pemburu dan sekawanan kijang. Kemudian, ia sadar bahwa hal itu konyol. Tabitha telah menyadari hiu itu sebelumnya, dan memperingati mereka pada waktunya. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari hiu itu tanpa kurang satu sel pun. Keberuntungan masih berpihak pada mereka.

Untungnya juga, hiu itu tidak tertarik pada mereka—meskipun hewan kelabu bergigi tajam itu sempat melihat mereka berlari. Mungkin dia lebih tertarik pada mayat si pria shoreal di dasar laut. Takumi mengintip dari balik sebuah batu besar yang dihinggapi koral merah, mengamati si hiu menyantap sarapannya dengan riang. Daging dan tulang si pria shoreal remuk oleh kunyahan gigi dan rahangnya. Seperti singa yang melahap  zebra.

ElementbenderWhere stories live. Discover now