60: Golden-Clad Masquerade

1.8K 77 0
                                    

Keadaan di dalam aula tidak lebih baik daripada di luar manor.

Tempat ini penuh sesak. Laki-laki, perempuan, tua, muda—semuanya mengenakan kostum mewah bertahtakan permata dan topeng lebar yang nyaris menutupi seluruh wajah—memadati aula yang luas, berbisik-bsik dan bergosip dengan suara pelan. Para wanita memakai gaun-gaun indah yang dihias motif-motif berbordir benang emas dan rias wajah tebal, tubuh mereka meninggalkan aroma parfum yang terlalu harum setiap kali mereka lewat. Laki-laki berkumpul di dekat barisan meja, mengobrol soal politik dan perdagangan. Di tangan mereka yang bersarung tangan terselip gelas wine, masih dipenuhi cairan merah memabukkan tersebut.

Genma berjalan ke dekat salah satu meja bertaplak hijau dan menatap sekeliling. Bahkan ruang aula juga berubah. Lebih banyak dekorasi dan pernak-pernik, dan tirai yang menutupi jendela terlihat lebih... berkilau. Ada semacam butiran-butiran permata kecil terjahit di ujungnya. Aula bermandikan cahaya chandelier yang tergantung di langit-langit dan lebih banyak tempat lilin—candelabra—berdiri di pinggir ruangan,  berbaris seperti tentara. Di dinding, berbagai macam kepala hewan—kebanyakan kepala rusa—dan senjata dipasang sebagai pajangan. Hiasan itu tidak ada sebelumnya, sewaktu Genma masih tinggal di tempat ini. Bagus. Sekalian saja dia pasang kepalanya sendiri di sini.

Di kejauhan, dilihatnya Hide sudah berbaur dengan bangsawan-bangsawan lain, tertawa dan membicarakan masalah “anak remaja sekarang sulit diatur” khas orang tua. Hide lebih banyak diam dan menanggapi perkataan lawan bicaranya dengan tawa. Sedetik, tatapan mata mereka bertemu, dan dalam sedetik itu Hide menyampaikan pesannya pada Genma—lewat tatapan mata. Kau harus bisa bertahan, Genma. Temukan dia, berikan apa yang seharusnya dia dapatkan. Sampaikan “salam”-ku padanya. Atau, setidaknya, itulah yang diartikan Genma.

Teman-temannya yang lain kebanyakan berada di sisi lain ruangan. Sakura dan Ayumi dengan cepat bergabung dengan gadis-gadis falcon lainnya, sulit dikenali dengan gaun mengembang mereka. Rira dan Takumi berbaur dengan para pria setengah baya dan berkacamata, sesekali terlibat percakapan yang canggung dengan salah satu falcon. Mereka juga ditawari wine dalam gelas tinggi transparan, yang langsung ditolak mereka berdua. Setelah dipaksa beberapa kali, akhirnya Takumi mau menyambut segelas wine tersebut, sementara Rira pergi meninggalkan mereka, entah ke mana.

Genma terkesiap. Ada tepukan di lengannya, mengagetkannya sejenak. Ternyata itu Higina.

“Di mana Tabitha?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada mendesak. Sebagian wajah gadis itu tersamarkan oleh topeng hitam berbentuk angsa, tetapi bagian wajah yang lain—pipi, bibir, dagu—mudah dikenalinya. Genma menatap ke sekeliling, mencari-cari sosok berambut silver di tengah keramaian.

“Eh...  mana kutahu.”

Higina memelototinya. “Seharusnya kau menjaganya.”

“Aku bukan pengawalnya, oke?”

Gadis itu menghela napas dalam-dalam. “Oke. Begini, Genma. Ada perubahan rencana dari Sakura. Kita tidak perlu berpencar. Pastikan selalu berada dekat-dekat dengan pintu masuk, kalau-kalau kita butuh kabur tanpa ketahuan. Oh, ya—setelah melihat kondisinya, menurutku aman kalau kita berkumpul dalam satu kelompok terpisah dan tidak berbaur dengan mereka. Lagipula, tidak akan ada yang memerhatikan.”

Genma menggeleng. “Sebentar, sebentar. Kau mau menyuruhku mencarinya, ‘kan?”

“Itulah masalahnya. Kau lupa, hah? Kita berenam harus menjaga satu sama lain!” desis Higina, tepat di depan mukanya. “Dan sekarang bertujuh, dengan Takumi. Kita harus sampai di Efthralier hidup-hidup.” Suaranya memelan pada kalimat terakhir, dan gadis itu refleks menoleh ke kanan-kiri, memastikan tidak ada yang menguping. Setelah yakin tidak ada orang lain di sekitar mereka, gadis itu melanjutkan. “Tujuan kita masih banyak, ‘kan?”

ElementbenderWhere stories live. Discover now