53: Tea and Accident

1.7K 84 5
                                    

“Mereka mengacaukan cuaca di sana? Astaga,” Hide menggeleng-geleng. “Bumi tempat yang ajaib, Nak—elemen-elemen di sana tidak memerlukan para pengendali. Tapi tempat ini,” ia mengibaskan tangannya pada udara di sekelilingnya. “Sangat rapuh. Terutama karena pengendali-pengendali sebelumnya—pelatih pengendali-pengendali yang kau kenal, teman-temanmu itu—menghilang tanpa jejak. Firasatku bilang, mereka semacam... ditawan,” nada suaranya memelan pada kata terakhir. “Dan sekarang, ketika para pengendali sudah kembali, ada pengendali-pengendali lain yang lebih dulu mengacaukan kelima teritori. Evaliot benar-benar malang, sungguh. Habis jatuh, tertimpa tangga, pula.”

Takumi mengangguk sopan. Disisipnya sedikit teh dari cangkir porselennya. Cangkir itu terasa licin di tangannya dan benar-benar mungil—benar-benar cantik, cangkir yang biasa digunakan untuk acara minum teh khusus. Ia penasaran siapa yang membuatnya.

“Kenapa kau tidak... mencoba mengendalikan tempat ini lagi?” tanyanya, setelah meletakkan cangkirnya di atas piring kecil. Takumi menumpukkan sikunya di atas meja dan Hide menatapnya seolah-olah pemuda itu baru saja berdiri terbalik di atas satu jari.

“Baru pertama kali kulihat Pangeran seserampangan itu,” katanya, takjub. Takumi langsung menurunkan sikunya. “Kau masih ingat sopan-santun kerajaan yang diajarkan ibumu, bukan?”

Itulah masalahnya, gerutu Takumi dalam hati. Aku lupa sama sekali!

Hide menyeruput tehnya juga dan menjawab, tanpa menaruh cangkirnya kembali ke piring. “Andaikan aku bisa, tapi... tidak. Aku terlalu tua—585 tahun, terlalu dewasa. Kemampuan pengendalianku sudah pudar,” ia tersenyum pahit. “Kalau si nakal Genma, nah, dia baru bisa. 126 tahun, jiwanya masih penuh semangat dan petualangan, meskipun 6 tahunnya dihabiskan di dunia manusia.” Tatapannya berubah serius. “Ryuuhi, 251, masih memiliki pengendalian yang lebih kuat daripada aku, tapi lebih lemah daripada Genma. Dan dia mnghilang.”

Takumi terdiam sesaat. Ditatapnya cangkir berukiran halus tersebut tanpa tujuan. “Pengendali pengganti,” gumamnya. “Seberapa kuat pengendalian mereka?”

“Oh,” Hide mengerutkan kening, berpikir. “Űbeltat. Entahlah. Kalau kehadiran para pengendali yang sejati saja tidak bisa menandingi pengendalian para pengendali pengganti, berarti, yah... pengendalian mereka, harus diakui, lebih kuat dibanding keenam anak itu.”

“Siapa mereka?” tanya Takumi tiba-tiba, dengan nada mendesak. “Aku belum melihat satu pun. Mereka bukan falcon atau elf yang membelot pada pemimpin aslinya, iya ‘kan?”

Hide menggeleng-geleng. Pria itu sudah mengamati Űbeltat cukup lama, menemukan keganjilan-keganjilan padanya, dan secara pribadi membenci pola hidupnya yang sering berfoya-foya. “Satu-satunya yang bisa kukatakan adalah mereka makhluk ajaib. Sama seperti pengendali api yang bukan dari bangsa falcon atau pengendali air yang bukan merupakan duyung, mereka pun begitu. Sebenarnya, yang tahu apa itu mereka adalah diri mereka sendiri.”

***

Para falcon benar-benar ketakutan sekarang.

Insiden sang komandan tadi lebih dari cukup untuk membuat mereka panik, kalang-kabut meninggalkan lingkaran mozaik tersebut dan buru-buru masuk ke dalam bangunan pertama yang mereka lihat, seperti segerombolan burung yang dikejar-dikejar pemburu. Suara kepakan sayap mereka memenuhi langit Pyrrestia yang suram. Orang dewasa dan anak-anak berhamburan di udara, satu-persatu terbang meninggalkan alun-alun dan menghilang di balik jejeran atap rumah. Bahkan sepasukan tentara itu mulai mundur. Kuda-kuda mereka ketakutan, berusaha mengepakkan sayap mereka dan kabur dari situ andaikan para penunggangnya tidak menarik-narik tali kekang mereka.

Tidak ada seorang pun yang maju dan menyentuh mayat sang komandan. Tidak ada yang mau.

Tombak putih itu tergeletak di sebelah mayatnya. Ujungnya yang berbentuk hati terbalik kotor oleh darah dan serpihan tengkorak. Genma tersenyum, menyadari siapa pemilik tombak itu, kemudian membungkuk dan memungutnya. Tatapannya teralih pada pasukan berkuda tersebut.

ElementbenderWhere stories live. Discover now