27.2: Broken Sanctuary

2.5K 115 0
                                    

Setelah insiden menyebalkan tersebut berlalu, Takumi mendapati dirinya berada dalam situasi yang jauh lebih menyebalkan. Gerbang menuju Etheres terkunci.

Ia sudah bertemu dengan para pengendali elemen lainnya. Mereka memutuskan mengambil beberapa kue dari kios Oda, menaruh bungkusan berisi uang koin sebagai gantinya, kemudian beralih pada gerbang perbatasan Gaelea—yang ternyata dirantai dari sisi satunya. Rantai itu sendiri dikencangkan oleh banyak gembok, masing-masing gembok memiliki ukiran huruf di badannya. E-N-Y-A-H.

Enyah. Yang berarti, "pergi-dari-hadapanku-dan-jangan-kembali".

Cairan hitam misterius membasahi permukaan rantai dan gembok, sedikit demi sedikit membusukkan badan logamnya. Aroma asing menguar. Takumi refleks menutup hidung.

"Baunya seperti plastik meleleh."

"Atau boneka terbakar," timpal Sakura. Gadis itu benar. Ada banyak jenis plastik di dunia, tetapi yang satu ini tercium seperti boneka yang bahan bakunya... poliuretan. Tunggu—dari mana pula ia mendapat pikiran serinci itu?

Sebuah ingatan melintas di benaknya; beberapa tahun lalu, Aya membelikan BJD untuk sepupunya yang paling kecil. Takumi bukan tipe laki-laki yang mengagumi perempuan fiktif dan menjadikannya pacar, tetapi ia benar-benar penasaran bagaimana benda itu menekuk tangan dan memutar kepala. Tidak ada boneka semacam itu di ingatannya. Aya memperbolehkannya mengamati hadiah itu selama beberapa menit—dan ia mencium bau tersebut. Baunya tipis dan samar, tetapi tetap tercium.

Disentuhnya salah satu gembok dengan hati-hati. Panas. Takumi refleks menarik tangannya.

"Aku tidak punya jarum lagi," komentar Genma. Ditunjukkannya sepasang pedang yang kini tertahan oleh ikat pinggangnya. "Jadi, hmm?" 

"Panjat saja," sahut Higina. "Ini hanya pagar yang dirantai dan digembok."

Gadis itu tidak sepenuhnya benar. Keseluruhan pagar itu terlalu menjijikkan untuk dipanjat—dengan segala rantai dan gembok berselimut cairan hitam—tetapi dinding di sebelahnya cukup aman. Batu-batuan yang menonjol bisa dijadikan pijakan untuk menjaga keseimbangan.

Tabitha melepas jubahnya, kemudian terbang melampaui dinding pembatas dan mendarat di sisi satunya. "Terbang lebih mudah," serunya, memerhatikan keenam temannya dari balik jeruji pagar.

"Memang. Tapi sayap kami rusak," balas Sakura, sementara teman-temannya satu persatu meninggalkannya, bergabung dengan Tabitha. Dengan bantuan kakinya yang bersayap, sang gadis angin melompat setinggi mungkin, dan mendarat mulus di sebelah Tabitha.

Dan di sinilah mereka berada. Pinggiran Etheres. Terdapat jalan setapak berkelok-kelok dikelilingi bunga hortensia raksasa yang mengarah langsung ke pemukiman. Beratus-ratus pohon raksasa berdiri tegar menantang angin dingin (dan udaranya benar-benar berubah drastis dari saat mereka masih di Gaelea); beberapa berpenghuni, beberapa tidak. Sebagian besar elf tinggal di rumah pohon. Struktur kayu yang keras dan sudah beradaptasi dengan kondisi tanah Etheres membuat setiap pohon bisa menyangga sedikitnya satu fondasi rumah kayu. Langit di atas sana berwarna putih cerah. Keseluruhan pemandangan itu terlihat... normal.

Paling tidak untuk sekarang.

Mereka berjalan melintasi kebun hortensia, menatap sekeliling, menyadari bahwa bau boneka pun masih tercium di tempat ini. Bunga-bunga seolah balas menatap mereka dengan kelopak ungu yang bergerak-gerak tertiup angin—dan gerakan angin pun berbeda di sini. Terkadang angin hanya berputar-putar mengitari mereka, terkadang sunyi seperti malam. Perkebunan buah di belakang rimbunnya hortensia juga kelihatan. Sesekali angin kencang datang, menerbangkan biji-biji buah ke segala arah.

Namun, bau boneka itu belum juga hilang.

"Siapa yang mengganti bunga-bunganya?" celetuk Sakura. "Hortensia ungu. Seingatku di sini hanya ada hollyhock...."

ElementbenderWhere stories live. Discover now