71: Witches All Around Me!

1.6K 85 15
                                    

Reia buru-buru masuk ke dalam gua kecil kumuhnya, yang hanya berupa sebidang ruangan sempit berisi kursi-kursi dari kulit kerang raksasa, memasang sebilah papan kayu rapuh untuk memblokir pintu gua (karena tirai rumput laut yang mereka gunakan beberapa hari lalu habis dimakan hewan liar), dan duduk di salah satu kursi, memeluk ekornya sambil bergidik ketakutan.

Ayura, gadis yang dicari-cari dua shoreal itu, bersembunyi di balik salah satu kursi. Tubuhnya ditutupi setumpuk ganggang hijau hingga hanya ujung ekornya yang terlihat, nyaris tidak bergerak-gerak. Reia menatap tumpukan ganggang tersebut dan berbisik, “sudah aman.”

Ayura memunculkan kepalanya dari tempat persembunyiannya dan menggeleng, menepis ganggang-ganggang dari tubuhnya. Serpihan-serpihan ganggang hijau masih tersangkut di rambutnya yang kusut. Ia menggeser kursi itu ke samping, kemudian berenang mendekati Reia, yang masih duduk sambil menempelkan dagu ke permukaan ekornya yang beruas-ruas. Ayura duduk di salah satu kursi, menatap temannya dengan kasihan.

“Maaf. Terima kasih,” katanya pelan. “Untung mereka tidak mengecek tempat ini.”

Reia mengangguk cepat-cepat, kemudian menggeleng.

“Bukan itu. Bukan....” Tatapan Reia teralih pada cap besi panas berbentuk angka 16 di kening Ayura. Cap itu sudah agak mengering. “Salah satu dari mereka, dia—dia.... Iih. Setelah mereka pergi—setelah salah satu dari mereka pergi, ada orang lain lagi... tapi dia pasti orang jahat juga, jadi jangan keluar rumah dulu, oke?”

Ayura mengangguk bingung.

“Kita harus pindah. Ya?” lanjut gadis kecil yang berambut pirang-hijau itu. “Mereka menusukku di tangan,” ia menunjukkan pergelangan tangannya yang berbekas tusukan pisau. Air laut menyembuhkan luka itu dengan cepat, tetapi sakitnya masih terasa. “Aku belum pernah ditusuk sebelumnya. Ada asap merah keluar dari sini. Sakit....”

“Itu darah, Reia,” komentar Ayura, kaget. “Astaga. Harusnya diobati dari tadi.” Gadis itu berbalik, menarik sehelai ganggang hijau dari tumpukan ganggang di lantai, tangan satunya menarik tangan Reia yang terluka dan membalut lukanya dengan perban darurat tersebut. “Argh. Mau ke mana kita sekarang? Hanya tempat ini yang aman. Kita—“

Tok tok tok tok.

“Jangan dibuka!” sambar Reia ketakutan. Sepasang matanya kosong, masih syok. “Suruh mereka pergi. Heei, pergiii!”

Ketukan itu berhenti. Seisi gua kecil itu hening, meskipun Ayura masih bisa merasakan kehadiran orang lain di depan pintu—suara kecipak air dan deru napas seseorang. Instingnya mengatakan bahwa orang yang ini tidak berbahaya. Dan Ayura selalu memercayai instingnya.

“Reia, hei, Reia? Kau buka saja pintunya. Aku akan sembunyi lagi, seperti tadi. Kalau mereka orang suruhan Grey Froth dan menginginkanku, aku tidak keberatan,” panggil Ayura, suaranya bersemangat dan gemetaran sekaligus. Reia mengangkat wajahnya dan menatap Ayura seolah-olah gadis itu baru saja bilang bahwa ia punya dua ekor. “Kalau ternyata bukan... aku akan tetap sembunyi. Bagaimana?”

“Sinting.”

Ayura menggeleng-geleng. “Aku lelah bermain kejar-kejaran dengan mereka. Tanganmu terluka karena aku. Lagipula,” disentuhnya cap besi panas di dahinya pelan-pelan. Gadis itu mengernyit sekilas. “aku mau meninju si mesum Grey Froth tepat di jakunnya, biar dia tahu rasa.”

Reia tertawa tergelak-gelak, menimbulkan gelembung-gelembung udara yang keluar dari mulutnya. Namun, ia masih ragu. Ayura adalah satu-satunya teman yang ia miliki semenjak orang tuanya meninggal oleh kesalahan—yang diklaim sebagai kecelakaan—oleh Grey Froth. Mereka mati terjepit kerang raksasa, di lahan peternakan kerang milik Grey Froth. Kematian yang bisa dicegah seandainya mereka tidak dipaksa bekerja di sana. Ayura adalah satu-satunya tempat bergantung—tempat berbagi nasib dan teman sepenanggungannya selama ini. Reia tidak akan merelakannya begitu saja.

ElementbenderWhere stories live. Discover now