36.2: The Morning After

2K 87 0
                                    

“Sakura!” seru Higina. “Bangun. Bangun!”

“Hah?” Sakura mengerjap-ngerjap. Kastil gelap tersebut lenyap, dan yang tersisa hanya loteng rumah Maurice beserta seorang gadis berwajah marah di depannya. Dikuceknya mata berulang kali. Gadis berwajah marah itu Higina, dan pria gila tadi... bukan siapa-siapa. Sudah berapa lama ia bermimpi? Setahun?

“Keadaan di luar buruk, Sakura. Langitnya makin kelabu,” ujar Higina kalem. “Sana, turun.”

Higina memapah Sakura menuruni tangga, meskipun trauma di perut gadis itu sudah sembuh. Sakura hanya terpeleset satu anak tangga. Di bawah, terlihat Maurice yang sedang mengasah sebilah pedang, Salvatrix yang membanting-banting campuran daun dan pasir liat, dan Amabilis yang sibuk menyuapi Eve dan Zoe—sementara kedua anak itu berlarian ke sana-ke mari. Kelima temannya duduk di kursi rotan yang sama dengan yang kemarin malam.

Sakura menghenyakkan diri di pinggir tempat tidur. Cambuknya dikalungkan di leher, sementara matanya menatap lurus ke arah pedang yang diasah Maurice ke sebuah paron. Pedang itu memiliki ujung lancip seperti jarum dan gagangnya dihiasi ukiran bunga bakung. Tiba-tiba, Sakura mengerutkan kening.

“Bukannya itu punya Genma?”

“Yah. Kalau ditajamkan terus-terusan, pedang itu bisa... ‘menghancurkan berlian dengan sekali tebasan’, katanya. Heh,” komentar Genma santai. Ia menggenggam pedang satunya—sebilah pedang yang lebih pendek, dengan ujung seperti pensil dan ukiran bunga bakung yang sama. Sepasang pedang itu belum pernah ada di dunia elemen sebelumnya. Hanya orang-orang tertentu yang diajarkan menggunakan dua pedang yang berbeda ukuran pada saat bersamaan, sementara Genma... Sakura mengernyit. Bagaimana bisa Ryuuhi-san mengajarkan Genma cara berpedang dengan—aah, para pengendali sebelum kami memang sinting.

Salvatrix menarik sejumput akar-akaran dari dalam peti kayu dan mengaduknya bersama sebongkah ramuan di mangkuk, kemudian menuang setetes air laut. Gadis itu mengetukkan jarinya ke pinggiran mangkuk dan berkata, “Perekat sayapnya sudah siap.”

 “Perekat sayap?” ulang Takumi heran.

“Terima kasih. Itu cukup,” kata Higina. Salvatrix membagi-bagi ramuan tersebut ke dalam lima mangkuk kecil sebelum memberikannya kepada para pengendali. “Kami harus pergi hari ini, meneruskan perjalanan; masih jauh. Tidak apa-apa, ‘kan?”

Maurice mengangkat wajahnya; pertanyaan itu jelas-jelas ditujukan kepadanya. Pria itu menaruh pedang yang sudah ditajamkan ke atas meja kecil, kemudian mengambil senjata lain—shuriken milik Rira. “Hati-hati. Di sini, mungkin hanya aku dan cucu-cucuku yang masih sehat. Yang lainnya sudah gila.” Maurice mulai mengasah salah satu ujung shuriken bebercak darah kering tanpa membersihkannya.

“Suara aneh semalam sudah berlangsung selama Anda pergi dan mengubah orang-orang di sini, Milady,” sahut Salvatrix. “Kami punya ramuan penjernih pikiran yang bisa mengatasi efeknya, tapi mereka menolak. Mereka menyukai pengendali pengganti. Ketika kutanyakan soal kesetiaan mereka kepada Anda, mereka tertawa. Para elf melupakan Anda.”

“Buat apa ikut-ikutan gila seperti bapak-bapak tolol yang minum bir bau dan makan daging anjing. Lebih baik sembunyi di sini, selama kami masih punya persediaan makanan. Kalau habis, kami tinggal menyelinap keluar dan mencuri dari pasar,” timpal Amabilis sambil memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.

Sakura terhenyak. Dioleskannya ramuan perekat sayap ke bagian sayap yang robek, kemudian menaruh mangkuknya di lantai. Gadis itu terlihat kaget. “Clair mengenaliku, tapi tidak menghormatiku,” gumamnya. “Baik. Kita pergi.”

“Ke kantor pusat?” tanya Genma.

“Ke rumah Peregrine,” geleng Sakura sambil beranjak berdiri.

“Buat apa?” sambar Higina. “Pertunjukan boneka itu? Jangan sekarang, Sakura.”

Sakura mendesah kesal, menghempaskan tubuhnya kembali ke tempat tidur. Tatapannya terpaku pada lantai. “Peregrine si pembuat cat sudah meninggal. Aku sendiri yang memimpin upacara pemakamannya tiga tahun lalu! Sekarang, pertunjukan boneka anak-anak diadakan di tengah... pemerintahan sesat? Ugh,” gadis itu menunduk. Tangannya yang ditumpukkan di atas paha mulai gemetaran. “Pertunjukan boneka, orang-orang yang menyerang kita kemarin ternyata boneka seukuran elf, tumpahan cat minyak, Peregrine si pembuat cat...” Ditatapnya teman-temannya satu persatu. “Kesimpulannya, teman-teman; seseorang sedang menertawai kita sekarang.”

“Tapi  pertunjukan itu hanya umpan agar kita datang,” balas Rira kalem.

Tidak ada yang membantah. Takumi, yang sedari tadi melamun kini angkat suara.

“Mungkin umpan itu sebenarnya jebakan tikus yang bisa menjerat rakyat biasa.”

“Semuanya masuk akal,” sambung Sakura. “Kita bisa ke sana dan terjerat juga. Hmm. Oke, kita ke sana dan tunjukkan bahwa tikus-tikus yang satu ini, menggigit balik.”

ElementbenderWhere stories live. Discover now