2.1: Five Mundane Years Later

4K 205 3
                                    

5 tahun kemudian

"Harus bilang apa sama Nagi.... Harus bilang apa.... Salahnya sendiri bilang rambutku mirip badut punk.... Lain kali, kalau kehabisan mayat lagi, kugunakan saja badannya sebagai cadangan. Aaargh, sialan, tapi harus bilang apa sama dia?"

"Ame?"

Aya berjingkat-jingkat melewati koridor melalui kamar Ame. Terdengar sayup-sayup gumaman setengah mengantuk dari dalam kamar. Suara Ame. Ia mengetuk pintunya perlahan, mendengarkan setiap kata yang terdengar dari balik papan kayu itu (Aya sudah terbiasa dengan humor adiknya soal jurusan yang kini ditempuhnya). Ame pasti mogok kuliah lagi.

"Pergi sana!" teriak Ame dari dalam kamar, dengan nada merajuk. 

"Bukannya hari ini kau ada kelas pagi, heh? Memangnya kenapa?"

"... Masuk saja. Nanti kuceritakan."

Aya membuka pintu kamar yang tidak dikunci, matanya lagsung bertemu dengan Ame yang berbaring di tempat tidurnya sambil menutupi wajah dengan bantal. Ruangan itu berantakan; selimutnya tersingkap di satu sisi sementara sudut kanan seprainya sudah terlepas dari matras. Di meja belajar, tumpukan buku-buku anatomi manusia tertumpuk dengan amat tidak rapi. Terkadang ia harus sabar menghadapi anak ini. Sikap keras kepalanya, perkataan-perkataan tidak terduga—dan bahkan Ame bukan seorang anak lagi. Dia sudah lebih dari 20 tahun. 22 tahun.

"Kenapa kau?" tanya Aya sambil berkacak pinggang. Sikapnya ketika menghadapi Ame yang sedang malas-malasan. "Tidak biasanya—"

"Nagi."

"Kenapa?"

"Buku teorinya terbakar gara-gara aku."

Wanita yang sudah rapi dengan blazer sewarna jeans dan kacamata hitam itu mengerutkan kening. Garis-garis di seputar mata dan mulutnya membuat wajah sang wanita terlihat lebih tua dari usia aslinya. Ia tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengatakan, "Kenapa?"

Sudah ia duga, adiknya itu terganggu akan pertanyaannya yang hanya satu kata dan sama semua. Ame menyingkirkan bantal dari wajahnya—yang langsung jatuh ke bawah tempat tidur—kemudian bangkit dari ranjang dan menatap Aya seolah menilai apa dia bisa menjaga rahasia atau tidak. Cowok itu hanya memakai celana pendek hitam dan kaus hitam bergaris-garis di balik selimut tipisnya. "Janji jangan bilang siapa-siapa? Jangan tertawa?"

"Mm-hmm?" Akhirnya, Aya bisa mengatakan sesuatu selain "kenapa", meskipun "mm-hmm" masih bukan sebuah kata.

Ame menghela napas. Masih menatap Aya erat-erat. "Kemarin, Nagisuke bilang  rambutku mirip badut punk. Setelah itu muncul api di buku teorinya. Entah dari mana!"

"Apa?" Aya terperangah. 

"Anak-anak lain sampai harus menyiramnya—maksudku menyiram bukunya," jelas Ame meyakinkan.

Aya masih terdiam di depan pintu kamar Ame sambil berpikir. Adik angkatnya ini memang suka berbicara aneh-aneh dan punya selera humor yang agak "sakit", tetapi Aya bisa membedakan mana perkataannya yang bohong dan mana yang bukan. Yang satu ini sepertinya bukan.

Jadi, wanita itu mengganti topik pemikirannya ke hal lain. Api tanpa sumber panas yang langsung menghanguskan sebuah buku tergolong kejadian yang langka, mustahil malah. Kecuali kalau Ame sedang membicarakan kasus spontaneous human combustion, ketika seseorang menghasilkan api dari tubuhnya dan membakar dirinya sendiri. Namun itu masih terlalu janggal.

Adakah kasus spontaneous theory book combustion?

Tidak. Sepertinya tidak. Terlalu  berlebihan.

"Jadi..." gumam wanita itu, melirik jam dinding. Jarum panjang menunjuk ke angka tujuh dan jarum pendek mengarah ke angka enam. "Tik tok, tik tok. Waktunya berjalan, lho. Kau mau bolos, silahkan. Tapi kalau kau berubah pikiran, pakai saja mobilnya. Aku bisa jalan kaki." Aya berjalan meninggalkan kamar, tepat sebelum Ame memanggilnya.

"Tunggu. Aya-nee... mau jalan kaki?"

"Tempat kerjaku sekarang dekat, Baka," jawab Aya sambil tersenyum. Kelihatannya ia sedang berbunga-bunga akan hal lain—sudah pasti tentang rencana pernikahannya. "Nah. Terserah mau kuliah atau tidak, tapi kau itu senior, lho. Daah!"

Dan Aya pun pergi meninggalkannya. Ame berbaring lagi di kasurnya.

***

"Ohayou, Matsuzaki-san," sapa setiap orang yang berpapasan dengannya di koridor gedung.

Ame hanya membalasnya dengan senyum canggung. Dia telat hari ini gara-gara bonus tidur sepuluh menit tepat setelah Aya pamit pergi. Ia tidak yakin ia melakukan hal yang benar atau tidak, yang ia tahu hukuman akan menimpanya. Masa-masa kuliah ini jauh lebih berat dibanding SMA.

"Telat lagi, hmm, Matsuzaki-san?" tegur seorang dosen di belakangnya. Ame terkejut. Dosen yang dikenalnya sebagai Kenta Chiaki itu menatapnya dengan pandangan mata tajam dan alis berkerut. Aya sering memasang ekspresi yang sama setiap kali dia memergoki Ame membolos dari sesi terapinya dengan Helen.

"Yah... sekali-sekali, Sensei," jawab Ame sambil tersenyum polos. Pura-pura polos. Dosen itu menggeleng-geleng, tidak terlalu senang akan respon Ame terhadap pertanyaanya. Sedetik kemudian, ia mengatakan hal yang sudah Ame duga sebelumnya.

"Ruang bimbingan, Matsuzaki-san. Sekarang."

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang