Rose - 3

5.3K 386 4
                                    

Edward, Paula dan Rose mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di kota itu. Paula tak henti-hentinya tersenyum lebar mengungkapkan kegembiraannya.

"Daddy, aku lapar." Keluh Paula ketika mereka melewati sebuah stand makanan cepat saji.

"Kau lapar? Baiklah kita akan makan. Bagaimana jika kita makan ayam goreng?" Edward tahu apa yang di senangi putrinya.

"Ya. Aku mau ayam goreng... Yee..." Sorak Paula.

"Kau tidak keberatan untuk ikut kami makan siang, bukan?" Sapa Edward pada Rose.

"Tentu saja." Jawab Rose sungkan.

---

"Kau sudah mengabari ayahmu, kau akan pulang telat?" Tanya Edward pada Rose.

"Sudah. Hanya saja aku harus kembali bekerja jam 5 sore nanti." Ucap Rose, ia kembali menyeruput es kopi yang di pesannya.

"Kau bekerja lagi di sore hari?" Tanya Edward, pandangannya beralih ke arah Rose.

"Ya. Pekerjaan tambahan." Jelas Rose, matanya melihat ke arah Paula yang sedang bermain di arena permainan anak-anak.

"Apa kau tidak kelelahan setelah mengajar di taman kanak-kanak, harus bekerja lagi sore harinya?" Edward mulai peduli.

"Aku harus melakukannya. Aku memerlukan biaya lebih untuk mengobati ayahku."

"Ayahmu sakit? Sakit apa?" Tanya Edward lagi.

"Gagal ginjal."

"Ibumu? Oh maaf. Aku terlalu banyak bertanya. Maafkan aku." Kata Edward menyesal.

"Tidak masalah. Ibuku, dia meninggalkan aku dan ayahku. Dia pergi bersama lelaki lain yang dia bilang di cintainya." Ucap Rose santai.

"Sekali lagi maafkan aku." Ucap Edward.

Rose hanya tersenyum menanggapi permintaan maaf. Bukan suatu masalah bagi Rose untuk menceritakan kehidupan keluarganya. Lagi pula ia sudah melupakan kejadian yang menyakitkan itu, dan tidak mengganggapnya begitu berarti di kehidupannya yang sekarang.

Sesekali Edward melirik Rose yang duduk di hadapannya, ia melihat sosok wanita pekerja keras di dalam diri Rose. Namun ia yakin, wanita seperti Rose tidak akan suka bila ia di kasihani, wanita seperti Rose akan lebih senang berjuang demi kehidupannya di bandingkan hidup dari belas kasihan orang lain.

"Paula anak yang cerdas. Dia pandai bernyanyi dan mulai lancar mengenali huruf-huruf. Dia anak yang ceria." Suara Rose menghentikan lamunan Edward.

"Umm.. Ya.. Dia memang senang bernyanyi. Aku harap dia selalu ceria seperti itu." Tukas Edward segera.

"Aku pernah bertanya pada Paula tentang ibunya. Aku pikir wanita yang sering menjemputnya adalah ibunya. Ternyata bukan."

"Oh, dia Bella adikku. Aku dan ibunya Paula sudah bercerai. Dan hak asuh Paula jatuh padaku." Jelas Edward.

Rose sedikit terkejut mendengar ucapan Edward. Ia tidak menyangka bahwa orang tua Paula telah bercerai.

"Maafkan aku Tuan Edward. Aku tidak mengetahui itu. Maafkan kelancanganku." Sesal Rose.

"Tidak masalah." Edward memandang ke arah Paula yang tengah bermain ayunan.

Rose melihat ke arah jam tangan yang di pakainya, dia harus segera pulang. Dia harus bersiap untuk pergi ke tempat kerja selanjutnya.

"Maafkan aku Tuan Edward, aku harus pulang sekarang. Aku harus pergi bekerja satu jam lagi." Kata Rose, kemudian bangkit dari kursinya.

"Bisa tolong samapikan maafku pada Paula, bahwa aku tidak bisa menemaninya sampai selesai?" Lanjut Rose.

"Kau akan pulang sekarang? Tunggu. Kami akan mengantarmu.-"

"Tidak perlu Tuan, aku bisa pulang sendiri. Paula sedang asyik bermain, dia akan sedih jika kita mengganggunya." Tolak Rose cepat.

"Kau tunggu disini. Aku akan segera kembali." Kata Edward pada Rose, kemudia ia berlari mengahampiri Paula.

Rose ingin menolak, namun tidak ada yang bisa ia lakukan karena Edward terlebih dulu meninggalkannya.

"Hai sayang. Kau masih asyik bermain?" Tanya Edward setelah sampai di tempat putrinya.

"Ya Daddy., aku sangat senang Daddy mengajakku kesini." Kata Paula sambil tersenyum.

"Apa kau sudah cukup bermainnya? Mrs. Rossy harus segera pulang. Apa kau setuju jika kita mengantarnya?"

"Baiklah. Kita akan mengantar Mrs. Rossy pulang." Jawab Paula semangat.

"Good girl. Ayo..." Ajak Edward. Lalu mengulurkan tangannya pada Paula.

Paula tidak mau menerima uluran tangan Edward, ia malah membentangkan kedua tangannya mengisyaratkan bahwa ia ingin di gendong. Edward hanya bisa tersenyum melihat tingkah putrinya. Lalu dengan senang hati Edward membungkukkan tubuhnya agar Paula bisa masuk ke pelukannya.

"Tuan, Anda tidak perlu melakukan ini. Kasihan Paula." Tolak Rose ketika Edward dan Paula sampai di depannya.

"Tidak apa-apa. Paula juga setuju untuk mengantarmu pulang. Bukan begitu Paula?" Tanya Edward pada Paula yang berada di gendongannya.

Paula pun mengangguk membenarkan.
Rose hanya bisa pasrah menerima tawaran kedua orang di hadapannya. Sebenarnya ia cukup merasa tidak enak jika harus di antar oleh murid dan orang tuanya itu. Apalagi sekarang ia tahu bahwa ayah dari muridnya ini adalah seorang duda yang lumayan tampan. Apa kata orang yang mengenal Edward jika melihat Edward mengantarnya pulang.

Bukankah seharusnya Rose merasa senang bisa di antar oleh orang baik dan tampan seperti si duda Edward? Bisa saja ini kesempatan bagi Rose untuk bisa mendekati orang setampan dan sekaya Edward.
Rose cemberut marah pada pernyataan itu. Ia menekan ke bawah perasaan yang tidak di sukainya tersebut.

ROSE (on Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang