ROSE-23

3.5K 278 10
                                    

Rose POV

Oh Tuhan... Apa yang sudah aku lakukan?? Aku.. Mencium Edward??
Sial. Itu adalah hal bodoh yang aku lakukan.
Aku tahu ini pasti pengaruh alkohol, begitu beraninya aku melakukan itu. Bahkan aku bisa mengingat aroma kulitnya yang begitu dekat.
Suatu kecorobohan aku melakukannya.
Dan, Bagaimana bisa aku mencium seseorang yang memiliki kekasih?
Apakah aku masih waras?
Apa in karena kekecewaanku terhadap Liam, sehingga aku bisa bebuat demikian?
Aku melangkah dengan cepat meninggalkan Edward yang masih berdiri di tempatnya. tubuhku terasa bergoyang karena sedikit pusing di kepala. Aku tidak ingin melihat kebelakang sekarang, aku sangat malu. Bayangan bahwa bibirnya ada di bibirku membuat kepalaku semakin berdenyut. Aku berusaha membuang ingatan itu.

Suasana di dalam mobil begitu hening. Aku dan Edward sama-sama diam, tidak ada yang perlu kami bicarakan sekarang. Dan itu lebih baik menurutku. Edward tidak banyak bicara, tidak ada. Dia diam, apakah dia marah padaku karena aku telah lancang menciumnya?
Oh Tuhan, apa yang harus aku katakan padanya?
Maaf Edward. Aku tidak sengaja menciummu disana. Itu mungkin karena pemgaruh alkohol.
Sial. Omong kosong apa itu?
Dan omong kosong apa yang telah aku lakukan dengan mencium kekasih seseorang?
Kau benar-benar tolol Rose.
Aku memarahi diriku sendiri.

"Umm... Maafkan aku.." Aku memberanikan diri memulai.
"Apa? Untuk apa?" Edward menoleh ke arahku.
"Tadi.. Aku.. Menciummu. Aku tahu aku ceroboh. Maafkan aku. Aku hanya ingin berterima kasih." Aku mengakui kebodohanku sekarang.
"Ya. Apa itu caramu berterima kasih?" Kata-katanya menamparku.
"Tidak." Aku memarahinya. Aku tidak setuju dengan penghakimannya.
"Lalu?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa bisa terjadi. Jujur, aku menyesali perbuatanku." Kataku cepat.
Hening. Edward hanya diam dan fokus pada kemudinya. Dia tidak mengomentari ucapanku. Ini membuatku mual.

Bisa-bisanya aku tertidur di perjalanan yang singkat. Suara Edward terdengar jauh dari telingaku. Ia memanggilku dan mengguncang pelan tubuhku, memaksa untuk membuka mataku yang terasa berat.

"Hmm... Apakita sudah sampai?" Aku bertanya saat mataku separuh terbuka.
"Belum." Jawab Edward tenang.
"Belum? Lalu mengapa kau membangunkanku?" Tanyaku heran.
"Kau ingin kemana?" Tanyanya bingung.
Aku memutar bola mataku padanya, merasa aneh dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Kau menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang dan sekarang kau bertanya padaku, aku mau pulang kemana??"
"Apa yang salah?" Ia tampak bingung.
Oohh.. Sungguh benar-benar aneh, apakah pemikiran tentang pulang ala Edward berbeda dengan pemikiranku?
"Apa kau berpikir bahwa pulang disaat kau telah minum banyak adalah pulang ke suatu tempat bersamamu selain rumah pribadi Edward?"
"Entahlah. Aku hanya bingung harus mengantarmu kemana?"
Benarkah ia tidak tahu harus mengantarku kemana?
"Tentu saja aku ingin pulang ke rumahku. Kemana lagi aku harus pulang?" Kataku sedikit kesal.
Ia menarik garis tipis di bibirnya dan menatapku cukup lama.
"Apa?" Aku bertanya.
"Tidak ada. Oke, aku akan mengantarmu ke rumah." Katanya cepat.
Aku mengangguk pelan dan memalingkan wajahku ke arah jalanan di depan kami. Mobil Edward melaju membelah jalanan ibukota dan sekarang pukul 2 pagi. Terlalu banyak kejadian yang aku lewati hari ini, tidak pernah terbayangkan sebelumnya memergoki pacar yang sedang selingkuh lalu kemudian mencium Edward. Oh Tuhan, ini begitu banyak. Aku hanya ingin pergi menemui kasurku dan terlelap disana.

Kami tiba di rumah dan Edward mematikan mesin kendaraannya.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Seharusnya Liam yang melakukan ini. Tapi dia melupakanku dan lebih memilih Lena mantannya." Aku tertawa mengingat itu.
"Yaa.. Mantannya." Aku menegaskan kata-kata itu.
"Apa kau mengajar pagi nanti?" Edward bertanya pelan.
"Tentu saja. Sangat melelahkan bukan? Kau bekerja malam sampai pagi hari dan kemudian kau harus mengajar di pagi yang sama." Aku mengeluh padanya. Mungkin dia bisa merasakan apa yang aku rasakan.
"Ya, mungkin aku bisa mengerti itu. Sekarang masuklah, tidur selama yang kau bisa. Atau kau bisa meminta cuti sehari." Katanya memberi saran.
"Tidak. Aku tidak bisa cuti lagi. Anak-anak membutuhkan gurunya. Mereka pasti merindukan gurunya yang cantik ini." Kataku sambil tertawa kecil, memuji diriku sendiri dan menggoda Edward.
Edward tersenyum dan aku memerah karena malu pada senyum menawannya.
"Sekali lagi terima kasih sudah mengantarku pulang."
"Kau tidak menciumku untuk mengucapkan terima kasih?" Edward menggodaku.
Kepalaku rasanya meledak mendengar  ucapannya yang terkesan menyindirku.
"Lupakan itu!!" Aku berteriak.
Edward hanya menggelengkan kepalanya lalu tertawa.
Aku tidak tahan disini, aku malu dan aku ingin segera pergi dari Edward.
Aku membuka pintu dan turun dari mobilnya, menutup pintu dan menunduk untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku melangkah menjauhi mobil di belakangku dengan cepat, tanpa menunggu balasan dari Edward. Itu tidak penting, aku tidak ingin ia menggodaku lagi dengan cara mengingatkanku pada hal bodoh itu. Udara malam ini begitu dingin dan membuat tubuhku menggigil di luar sini. Aku memeluk tubuhku sendiri, Aku harus cepat masuk dan segera menghangatkan diri.

***

Edward POV

Aku bisa melihat punggungnya yang terbuka ketika ia semakin jauh memasuki halaman rumahnya meninggalkanku. Bayangan dia berada tepat di depanku masih berputar di kepala, kecupan singkat bibirnya mampu membuat sesuatu berputar di perutku. Apa itu?
Itu hanya sebuah ungkapan terima kasih bukan?
Itu bukan apa-apa. Lagipula banyak wanita yang ingin melakukan itu padaku.
Aku menggelengkan kepala, menertawai pemikiran konyol itu. Mungkin Rose sama seperti wanita lainnya, mudah memberikan ciumannya pada setiap pria yang ia kenal. Tapi, jujur saja aku tidak menyukai pemikiranku, saat membayangkan Rose menciumi banyak pria untuk berterima kasih, aku merasa kepalaku sedikit menusuk-nusuk.

Mobilku meluncur di jalanan yang lengang, aku memutuskan untuk tidak kembali ke club. Rumah adalah tujuan utamaku, Paula pasti sudah tidur dengan nyenyak. Dan Bella mungkin sudah pulang setelah ia memastikan bahwa Paula tidur dengan nyenyak.
Aku mencoba menghubungi Elie di perjalanan, aku belum mendengar kabarnya hari ini. Mungkin aku merindukannya.
Sangat sulit untuk menghubungi Ellie, aku selalu tersambung ke pesan suara dan itu menyebalkan.
Kemana dia? Mengapa ponselnya tidak bisa dihubungi?
Aku mengabaikan pikiranku tentang Ellie, aku hanya ingin pulang dan tidur. Aku hanya punya waktu 4-5 jam untuk tidur sebelum akhirnya berangkat bekerja.

Haru yang melelahkan, seperti biasa. Bella mengirimiku pesan bahwa ia tidak bisa menjemput Paula di sekolah, karena ada kegiatan kegiatan di kampusnya. Tidak masalah, karena aku bisa pergi menjemput Paula. Aku memiliki banyak waktu kosong hari ini karena dua agenda rapat dengan dua perusahaan telah di undur sampai dua hari lagi.

Aku duduk di belakang kemudi, memutar kunci untuk menyalakan mesin. Ponselku berdering ketika aku meletakkannya di dashboard.

Ellie callings...
Dia menelepon sekarang, sudah beberapa jam berlalu sejak aku menghubunginya pagi tadi.

"Hai..." Suara lembutnya menyapaku.
"Hai." Kataku datar.
"Maaf, aku tidak menerima panggilanmu semalam, aku sibuk dengan pemotretanku." Dia merengek seperti kucing.
"Tidak masalah, lupakan saja." Kataku sambil mengalihkan panggilan ke speaker dan memulai perjalanan.
"Apa kau marah padaku?" Suaranya menggema di seisi mobil.
"Tidak."
"Aku rasa kau marah. Ayolah Ed, ini hanya hal kecil saja." Katanya kesal.
"Aku tidak." Aku tidak seperti apa yang kau pikirkan.
"Lalu mengapa kau dingin padaku?"
"Apa?" Aku? Dingin?
"Ya. Aku merindukanmu." Akhirnya.
"Aku sedang di jalan menuju sekolah Paula, aku pergi menjemputnya." Kataku, mengabaikan ungkapannya.
"Kau pergi menjemput Paula?? Dimana Bella? Bukankah dia yang seharusnya menjemput Paula?"
Oh. Ini di mulai lagi...
"Bella sedang ada kegiatan. Jadi aku yang pergi."
"Aku sarankan agar kau segera mencari seorang pengasuh untuk putrimu Ed, dia tidak bisa mengganggu waktumu." Katanya.
Sial. Aku benci perdebatan ini.
"Aku belum menemukan yang terbaik." Aku menggeleng pelan, menekan emosiku.
"Segera temukan. Dua hari lagi aku akan datang kesana. Dan aku tahu liburan musim dingin sudah tiba. Kau harus mengajakku jalan-jalan, oke? Aku rasa Turki bukan ide buruk."
Liburan? Jalan-jalan? Turki??
Double sialan.
Lihatlah Edward, kau layaknya seorang pria single dewasa. Tapi pada kenyataannya kau adalah seorang duda beranak satu.
"Dan aku ingin kita pergi berdua. Tidak ada yang mengganggu. Aku ingin kita lebih dekat Ed." Rengek Ellie. Dia membaca pikiranku.
"Kita lihat nanti." Hanya itu yang bisa aku katakan. Aku tidak bisa berpikir sekarang.
Mengapa Ellie tidak bisa menerima Paulaku? Dia adalah bagian dari hidupku sekarang.
Aku mengetuk gagang kemudi dengan keras melampiaskan amarahku pada keadaan.
Ellie dan Paula, aaarrrrggghhhh !!!!

ROSE (on Going)Место, где живут истории. Откройте их для себя