ROSE-24

4.2K 307 19
                                    

Rose POV

Sore yang kurang bersahabat. Di luar sedang hujan, tidak begitu lebat tapi cukup bisa membasahkan bajuku. Dan aku tidak ingin pakaianku basah sampai di club. Oh ya club, aku harus kembali bekerja disana dan sangat mengerikan bahwa aku akan bertemu Liam disana. Sial, mengapa aku bisa jatuh ke dalam jebakan yang ia buat?
Dia sengaja mempermainkanku benarkan?
Dia memberikanku pinjaman uang, lalu ia merayuku, mengatakan bahwa dia menyukaiku dan aku terlena lalu ia mengkhianati. Bagus Rose, kau sukses di bodohi pria itu. Aku menarik nafas panjang mengobati goresan luka yang Liam buat. Ya.. Uang itu, aku harus segera mengembalikannya, setelah itu aku harus berhenti dari sana dan mncoba mencari pekerjaan baru.
Melangkah dengan semangat yang dibuat-buat, aku memesan taksi agar bisa sampai di club dalam keadaan hujan seperti ini. Dan hanya lima menit taksi itu pun datang menjemputku dan mengantarku kesana.

Club masih sepi, belum ada pengunjung. Hanya beberapa pekerja yang datang dari luar dan masuk ke dalam. Aku sangat berharap Liam belum datang, walaupun dia sudah datang aku masih berharap bahwa aku tidak bertemu dengannya.

Berjalan memasuki ruang ganti, aku meletakkan tas dan mantel di dalam lemari khusus milikku.
Aku siap bekerja dan tujuanku sekarang hanyalah ingin segera melunasi hutangku dengan Liam.

"Rose." Suara serak itu mengejutkanku dan aku melompat. Aku tahu milik siapa.
"Rose, dengarkan aku. Aku mohon."
Tidak. Katakan itu padanya Rose.
Aku memilih melanjutkan kegiatanku menutup lemari.
"Rose."
"Apa?" Aku menjawabnya kali ini dengan santai dan tertekan bersamaan.
"Aku tahu kau marah padaku. Tapi biarkan aku menjelaskannya." Liam memohon.
"Tidak perlu menjelaskan apapun Liam. Aku baik-baik saja. Dan aku minta maaf karena lancang melempar kalian berdua." Benjolan besar tumbuh dalam tenggorokanku. Airmata mengancam keluar.
"Kau tidak salah melakukan itu. Kau benar dengan melakukan itu."
Dengan begitu kau sadar akan kelakuanmu bukan?

"Aku menyadari kesalahanku, aku mohon maafkan aku. Aku berjanji itu tidak akan terjadi lagi." Dia memohon lagi kali ini.
Menarik nafas panjang, aku memberanikan diri untuk menjawab Liam.
"Dan aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak jatuh padamu lagi Liam.
Kelakuanmu sungguh tidak bisa aku lupakan. Aku bisa memaafkanmu, tapi aku tidak bisa melupakan kejadian itu begitu saja. Mungkin Lena memang lebih baik untukmu bukan aku." Mataku panas, aku bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku yang dingin.
"Tidak. Aku mohon. Aku mencintaimu Rose. Lena merayuku. Aku pikir itu.. Itu.. Kau."
Dia pikir itu aku??
Apa-apaan? Dia mabuk? Omong kosong.
Aku menggeleng, tidak ingin mendengar apapun lagi. Aku bergerak meninggalkannya, namun langkahku tertahan karena ia menahan lenganku.
"Aku mohon Liam. Aku tidak ingin melihat kekacauan lagi jika kita bersama." Aku terisak.
"Tidak akan. Aku akan menjauhi Lena. Aku bersumpah."
"Aku akan segera melunasi hutangku. Dan aku akan mencari pekerjaan baru." Kataku cepat.
"Apa?" Aku bisa melihat keterkejutannya.
"Ya. Aku akan berhenti dari tempatmu, tapi aku berjanji segera melunasi hutangku."
"Kau tidak perlu membayarnya. Aku memberikannya, percuma. Terserah jika kau ingin berhenti dari sini. Tapi aku ingin kita tetap bersama. Aku mohon." Ia menggenggam tanganku sekarang. Erat.
Tangisku pecah, aku tidak bisa menahannya. Dia menginginkanku?

"Akan sulit bagiku jika kau tidak bisa menghilangkan Lena dari pikiranmu. Aku tahu, kau masih memiliki rasa untuknya. Aku tidak ingin menjadi pelarianmu saja."
"Pelarian?? Kau pikir aku main-main denganmu?" Geramnya.
"—"
"Aku tidak main-main Rose. Aku tahu aku salah karena mengkhianatimu dengan cara itu bersama Lena. Tapi saat itu aku mabuk dan dia datang padaku.–"
"Cukup. Hentikan semua omong kosong ini. Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Terlalu cepat bagiku, tapi bagus juga karena aku belum terlalu dalam menyimpan rasa untukmu." Aku menyela cepat.
"Aku mohon. Beri aku kesempatan." Bujuk Liam, dia lebih memohon kali ini. Dia meremas tanganku dan membawanya ke dadanya. Aku hampir luluh.

Semangat untuk bekerja hilang dari diriku. Pengakuan Liam terus berputar di kepalaku dan menumbuk-numbuk di sana. Aku akui hatiku sedikit luluh mendengar pengakuannya yang sungguh mengejutkan. Aku tidak menyangka dia bisa berkata seperti itu.

Mungkin dia sengaja untuk meyakinkanmu. Sadarlah Rose.

"Hei.." Eric mengejutkanku dari balik mejanya.
"Apa yang mengganggumu? Kau terlihat aneh, tidak fokus sama sekali. Apa ada masalah? Kau... Dan... Liam?" Tanyanya ragu. Ia menunggu reaksiku.
"Entahlah, kami bertengkar."
"Apa? Lalu bagaimana kelanjutannya?" Dia benar-benar bersemangat untuk tahu.
"Aku mengakhirinya."
"Kau mengakhiri hubunganmu yang baru 48 jam? Yang benar saja?" Teriak Eric.
48 jam katanya?? Yang benar saja? Kami lebih dari itu, satu minggu? Tidak, sepuluh hari. Ya sepuluh hari. Dan dia mengkhianatiku dalam usia hubungan kami yang baru sepuluh hari. Sial.

Edward POV
"Apa?? Kau ingin pergi liburan bersama Ellie dan meninggalkan Paula? Apa kau waras Edward? Tidak kau gila. Kau benar-benar gila!!" Teriak Bella. Suaranya membuat gelas yang ku pegang hampir saja jatuh.
Point bagus saat aku memberitahu ide Ellie padanya, ini sudah bisa ku tebak. Dia akan berteriak padaku.
"Aku bisa mencari pengasuh untuknya. Hanya beberapa hari."
"Ya. Kau benar. Kau bisa mencari pengasuh untuknya dan kau bisa membayar berapa pun. Kali ini beberapa hari. Lain kali akan menjadi beberapa bulan, lalu tahun, kemudian kau meninggalkannya. Kasihan sekali Paula harus mempunyai ayah sepertimu." Bentaknya. Mengapa dia begitu marah dan berpikir terlalu jauh.
"Kau melewati batas." Aku menggeram.
"Aku mengingatkanmu untuk tidak terlalu jauh bertindak Edward. Kau mulai terpengaruh pada Ellie, apa kau sadar? Kau lebih memihaknya daripada Paula, putrimu." Kali ini ia menatapku. Bella adikku, dan dia lebih dewasa berpikir saat ini. Aku rasa.
"Cukup menjelek-jelekkan Ellie Bella." Aku membela Ellie.
"Ya. Tentu saja kau membelanya. Aku muak padamu Edward." Katanya kesal. Ia meninggalkanku di dapur dan kakinya menghentak pada lantai marmerku, menggema memenuhi ruangan. Aku menenggak habis sisa minumanku untuk menenangkan sarafku.

"Mengapa aunty Bella pulang begitu cepat Dad?" Suara lembut Paula menyadarkanku. Sejak kapan dia disini?
"Dia ada sedikit urusan?" Aku berbohong.
"Aku mendengar dia berteriak dan menyebut namaku. Apa dia marah padaku?"
Tidak, dia marah padaku.
"Tidak. Tentu saja dia tidak akan marah pada keponakannya. Dia hanya terkejut."
Terkejut, alasan yang masuk akal.
"Terkejut? Tapi dia tidak pamit padaku saat akan pergi. Biasanya dia menciumku dan mencubit pipiku sebelum dia pergi." Paula mengulang ucapanku dan mengenang tingkah bibinya.
Aku mengangguk padanya lalu menggendongnya untuk kembali ke kamar dan menidurkannya.

"Daddy.. Hari Kamis nanti Mrs. Rossy berulang tahun dan kami sepakat memberinya kejutan. Aku ingin memberinya hadiah. Apa boleh?" Tanya Paula pelan saat aku menyelimutinya dengan selimut bermotif princess kesukaannya.

Rose berulang tahun? Kamis nanti?
Wow... Apa yang harus aku berikan padanya?
Tunggu, mengapa aku jadi ikut bersemangat mendengar dia berulang tahun? Pikiran apa itu?

"Baiklah. Kita akan mencarikannya hadiah. Sekarang tidurlah, Daddy akan  menemanimu sampai kau tertidur." Kataku sambil mengecup puncak kepalanya.

Rose berulang tahun..
Kamis...

ROSE (on Going)Where stories live. Discover now