ROSE 33

2.5K 277 27
                                    

Edward POV

Jantungku bekerja lebih keras dari biasanya, aku gugup. Gugup? Ya aku benar-benar gugup saat otakku memerintahkan untuk menemui Rose.
Tidak ada cara lain, dan saran dari Bella cukup bisa di Terima oleh akal sehatku.
Aku tahu betul bagaimana Rose begitu peduli pada Paula, dia seperti menyayangi Paula. Tentu saja, dia adalah guru Paula. Bodoh!!

Tapi Rose lebih baik daripada Ellie maupun Monica, aku bahkan lebih mempercayakan Paula bersama Rose dari pada dua wanita itu. Dan Paula juga menyukainya, dia tidak akan takut jika aku meninggalkannya bersama Rose dalam beberapa hari.

Dan sekarang, yang menjadi permasalahaanya adalah apakah aku bisa dengan santai menemui Rose setelah kejadian itu?  Apa Rose bersedia menerima permintaan bantuan yang akan aku katakan? Bahkan sepertinya dia tidak ingin melibatkan sama sekali setelah malam itu.

Berpikir keras dan ragu akan suatu hal membuatku menyetir dengan tidak fokus. Aku sudah memasuki jalan ke arah rumah Rose, namun aku melewati beloknya hingga empat kali.  Ya Tuhan..  Aku berputar-putar disini karena ketakutanku sendiri.
Aku bukannya takut untuk bertemu dengan Rose yang cantik, benar dia cantik. Aku akui itu.
Aku takut bila dia mengusir ku sebelum aku berbicara, itu saja. Aku bisa melihat kebenciaannya padaku di sorot matanya.
Apa yang telah kau lakukan padanya Edward? Tolol!

Tapi bagaimana bisa aku tahu Rose bisa membantuku atau tidak jika aku hanya berkeliling tempat ini tanpa menemuinya langsung.
Meyakinkan hatiku, aku membelokkan setir ke blok dimana rumah Rose berada. Aku akan menerima apapun keputusannya, setidaknya aku sudah mencoba. Jika dia menolak, maka aku akan memikirkan cara lain lagi.

Rumah yang sederhana dengan halaman yang sempit. Hanya ada beberapa bunga tertanam liar di tanahnya. Jelas Rose tidak memiliki waktu untuk merawat bunga-bunga atau tanaman lainnya. Dia hanya akan memanfaatkan waktu yang tidak banyak untuk mengemasi dirinya agar bisa pergi bekerja lagi setelah pulang bekerja. Aku cukup terkesan dengan ketangguhannya dalam menjalani hidupnya yang mungkin saja keras.

Cukup miris melihat Rose yang harus banting tulang untuk bisa menghidupi keluarganya, walaupun hanya dia dan ayahnya yang sedang sakit. Dia harus bekerja lebih hanya untuk menambah penghasilan agar bisa membelikan ayahnya obat-obatan untuk menyambung hidup. Dia tidak memperdulikan apapun omongan orang di sekitarnya tentang pekerjaan malamnya itu. Termasuk diriku yang pernah menghinanya karena pekerjaannya sebagai waiters di club Liam. Tentu saja aku menyesali perbuatan ku itu. Karena Rose ternyata memang tak seperti yang aku pikirkan sebelumnya.

Mematikan mesin mobil, aku turun dari sana dengan ragu yang kembali menghantui. Namun aku harus bergerak sekarang, membuang jauh ego dan ketakutan ku akan penolakan bahkan mungkin pengusiran yang ekstrem. Aku berjalan pelan dan berhenti tepat di depan pintu masuk yang terkunci rapat.

Menatap pada dinding kayu bewarna cokelat tua itu, aku berdoa agar semuanya seperti yang aku harapkan,  Rose mau menolong bajingan ini setelah apa yang dia lakukan.
Tuhan maafkan aku.

Menekan bel dengan cepat, aku segera menurunkan tanganku. Bel itu seperti menyetrum jari-jariku. Sial. Bahkan bel rumahnya saja tidak ingin bersahabat denganku dan ingin aku segera pergi dari sana.
Aku merutuki dalam hati.

Tanpa menunggu terlalu lama, aku mendengar bunyi kunci yang di buka dari balik pintu, bukan kelegaan yang menghampiriku tapi malah jantungku semakin berdebar dan terasa ingin keluar dari tempatnya.

Kepala Rose menyembul dari pintu yang terbuka, rambutnya tergerai berayun terkena hembusan angin akibat udara yang di hasilkan oleh gerakan pintu. Wajahnya polos tanpa make up, bibirnya pink alami dan dia mengenakan kaos putih yang besar dan di gulung di setiap ujung lengannya. Cantik, putih, alami dan mempesona. Kata-kata itu berputar di kepalaku.

ROSE (on Going)Where stories live. Discover now