Hoofdstuk 47 : Zijn Opium

59 7 7
                                    

"Tidur." ucap Lanzo kepada gadis itu. Namun, Lou masih saja bangun hendak membantah Lanzo. Lanzo langsung menarik pinggang kecil gadis itu dan membaringkannya lagi di kasur. "Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku?" tanya Lanzo sedikit kesal. Tangan Lanzo siap siaga melingkari pinggang gadis itu agar ia tidak melarikan diri.

"Aku harus kembali ke kamarku," ucap Lou.

"Ini sudah jam 1 pagi, Keenan. Kalau kau masih berisik aku akan mengikatmu sekarang juga disini. Biarkan aku tidur," balas Lanzo sambil memeluk gadis itu dari belakang.

"Baik, baik. Aku akan tidur. Tapi, bisakah kau tidak usah memelukku segala? Aku bukan bantalmu." ucap Lou merasa sedikit aneh.

Senyuman iblis langsung terukir di wajah lelaki itu. "Kenapa? Apa mungkin kau merasa tidak nyaman karena barangku dibawah sana mengenaimu?" tanya lelaki itu dengan sensual mungkin.

"Tidak, tidak. Lupakan saja." potong Lou secepat kilat.

"Apa mungkin ia sedang mengeras, ya?" tanya lelaki itu sambil tertawa geli.

"Astaga, tolong tutup telingaku ini." ucap Lou tidak tahan mendengar semua perkataan sensual lelaki itu.

Lelaki itu malah tertawa mendengar perkataan Lou.

"Apa kau selalu bicara seperti ini dengan gadis-gadis yang kau tiduri?" tanya Lou heran.

Lanzo tersenyum miring. "Tidak, aku sopan terhadap gadis lain, aku bahkan diberi julukan 'Pangeran terbaik di negeri ini' soal berhadapan dengan para gadis itu." jawab lelaki itu.

"Lalu kenapa aku merasa kau sangat jauh dari kata sopan padaku?" tanya Lou heran.

"Itu karena kau berbeda. Aku menginginkanmu lebih besar daripada aku menginginkan para gadis itu." jawab Lanzo jujur.

"Dan kenapa kau selalu melakukan semuanya dengan kasar?" tanya Lou.

"Aku tidak kasar, Keenan." jawab Lanzo.

"Itu karena kau sangat tidak penurut dan kau suka meronta padaku. Lagipula entah kenapa reaksi tubuhku berbeda saja denganmu, diluar hal kau menurut atau tidak padaku. Aku hanya merasa kau membuatku menjadi seperti singa yang kelaparan, kalau boleh jujur." sambung Lanzo.

***

Saat itu, sebuah panggilan dari nomor asing masuk ke handphone lelaki itu. "Pagi, Tuan." jawab yang ada di seberang sana. "Hm, bagaimana keadaan di luar?" tanya lelaki itu. "Mereka menemukan pistol dengan sidik jari anda diatasnya." jawab suara itu.

Lelaki itu terdiam sejenak. "Habisi mereka," perintah lelaki itu kemudian pembicaraan itu berakhir begitu saja.

Sosok itu kemudian memasuki ruangan pribadi miliknya dimana ada pistol, senapan, bius, bahkan racun di dalam ruangan itu. Sudah lama juga ia berhenti memegang semua alat-alat ini, batinnya.

Ia mengambil salah satu pistol kesukaannya kemudian mengarahkan pistol itu ke kaca besar yang ada tepat di depannya. Sudah beberapa tahun aku cuti, tetapi pistol ini malah terasa semakin ringan, batin lelaki itu.

***

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Anna sambil menghampiri Leo dan mengecup pipinya. "Aku khawatir dengan Lionelle dan Lanzo." jawab Leo sambil mengecup bibir wanita itu.

Anna kemudian memeluk Leo dari belakang. "Karena mereka berantam? Lagipula kakak beradik sering begitu, bukan?" ucap Anna menenangkan suaminya. "Aku memiliki firasat buruk. Dan tatapan mereka berdua sudah tampak berbeda, Anna. Aku takut mereka akan saling menghancurkan." sambung Leo.

"Kau tidak perlu khawatir. Tidak mungkin Lionelle melakukan itu, apalagi Lanzo." balas Anna. Namun, Leo masih tampak ragu. "Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, ya?" sambung Anna sambil mempererat pelukannya pada lelaki itu.

Akhirnya Leo mengangguk. "Bagaimana kalau nanti kita keluar?" tawar Anna. Leo berbalik dan menatapnya. "Kau pasti merasa bosan, ya. Lagipula waktuku bersamamu hanya sedikit." jawab Leo.

"Bukan begitu, tetapi sudah lama kita tidak menikmati waktu-waktu kita berdua. Hanya kita berdua," ucap Anna. Leo tersenyum. "Baiklah. Aku bisa meninggalkan yang lainnya jika istriku yang memintaku." jawab Leo mengiyakan.

***

Lou sedang berdiri menghadap ke jendela dan seketika ia merasakan sebuah tangan mengelus-elus rambutnya. Lou mengira itu adalah Lanzo, yang membuatnya sontak menarik tangan itu dan berkata, "Lanzo," ucap gadis itu kemudian berbalik. Betapa terkejutnya ia ketika lelaki itu adalah Lionelle.

Lou langsung membeku sementara Lionelle masih menatap gadis itu sambil tersenyum. "Sayang sekali aku bukan Lanzo," ucap lelaki itu.

"Maaf, aku salah orang." jawab Lou lalu hendak pergi. Namun Lionelle langsung menahan tangan gadis itu dan menghimpitnya ke dinding. Lou berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari Lionelle. Tetapi usahanya sia-sia. "Lepaskan aku!" seru gadis itu. Lionelle kemudian mengecup bibir gadis itu. "Bagaimana Lanzo menyentuhmu? Apakah seperti ini?" tanya Lionelle sambil menurunkan tangannya leher gadis itu kemudian turun ke dadanya dan melingkari pinggang kecilnya.

Seketika saja Lanzo berada disitu dan melihat Lou yang sedang diperkosa oleh Lionelle. Amarahnya langsung menguap-uap dan ia berlari kearah Lionelle.

Ia menarik kerah kemaja lelaki itu kemudian menendang perutnya dengan keras. Lionelle terjatuh ke lantai. Lou tampak terkejut. Belum cukup sampai situ, Lanzo hendak menghampiri lelaki itu tetapi Lou langsung menahan lelaki itu dengan memeluknya dari belakang. "Lanzo, kau tidak boleh!" seru gadis itu memperingatkannya.

Lanzo yang sudah meluap hendak melepaskan tangan gadis itu yang melingkarinya. "Minggir, Keenan." ucap lelaki itu dengan suaranya yang tercekat.

Seketika gadis itu langsung menangis dan terisak. "Kumohon jangan," ucap gadis itu terisak sambil mengeratkan pelukannya pada Lanzo. Lionelle yang terbaring di lantai tertawa melihat mereka. "Kalian benar-benar pasangan sejati," ucap Lionelle kemudian berusaha bangkit dan pergi dari situ sambil tertawa.

Setelah Lionelle sudah pergi, Lanzo langsung berbalik dan mendapati gadis itu menangis. Itu menjadi sebuah hantaman bagi Lanzo. Lelaki itu mengeraskan rahangnya dan menarik nafas. Detik selanjutnya ia menangkup pipi gadis itu dan berkata, "Kenapa kau menangis?" tanya lelaki itu dengan lemah. Gadis itu masih saja menangis dengan isakannya yang terdengar semakin kuat. Hati Lanzo hancur melihat wajah gadis itu yang terhiasi oleh air matanya.

Lanzo langsung mendekap gadis itu kedalam pelukannya. Mata lelaki itu sudah berkaca-kaca. "Apa dia menyakitimu?" tanya lelaki itu sambil mengeraskan rahangnya.

Namun gadis itu tetap menangis. "Aku tidak akan membiarkannya lagi. Aku akan menjagamu dengan baik mulai sekarang." sambung lelaki itu sambil mengeratkan pelukannya.

***

Lou hendak masuk ke kamar Lanzo, tetapi sebelum ia masuk ia melihat pintunya terbuka sedikit. Dan lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. "Kau sudah menyelesaikannya?" tanya Lanzo. "Sudah, Tuan. Tetapi aku rasa ada yang lebih penting daripada itu." ucap suara dari seberang telepon. "Apa?" tanya Lanzo. "Pangeran kedua melacak kita, Tuan." jawab tangan kanan Lanzo yang bernama Max itu.

Lanzo menghembuskan nafasnya kasar sambil menutup kedua matanya. "Sial," umpat lelaki itu.

"Anda harus berhati-hati. Lionelle, dia tampak seperti orang bodoh padahal dia beraksi diam-diam. Dan kurasa dia masih menutup mulutnya." ucap Max.

"Segera bentuk formasi," ujar Lanzo kemudian menutup telepon itu.

Lou merasa sedikit bingung mendengar Lanzo yang tampak sedikit aneh. Tapi ia menganggapnya sebagai angin berlalu saja. Kemudian Lou masuk ke dalam.

"Ini aku," ucap Lou yang membuat lelaki itu berbalik dan menoleh padanya.

"Kau baik-baik saja-"

Lelaki itu tidak menjawab tetapi langsung melumat bibir Lou dengan panas. Ia melanjutkan ciuman itu sambil perlahan-lahan mendorong gadis itu dan akhirnya mereka terbaring di kasur dengan posisi Lanzo yang berada di atas Lou.

Lelaki itu terengah-engah. Kemudian ia berbisik, "Bibirmu terasa seperti opium yang dapat menenangkanku. Di saat-saat seperti ini, aku ingin bercinta denganmu." ucap lelaki itu dengan nafasnya yang tidak beraturan.

TO BE CONTINUED
VOTE N COMMENT NEEDED
THANKS
-L Y C A N O















Vladexeoun : Sacred ✅ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang