Hoofdstuk 63 : Geneesmiddel

37 5 2
                                    

Lionelle baru saja sampai dan ia membeku. Ia melihat Keenan tergeletak tak berdaya di pangkuan Lou. Rafael langsung menghampiri Lionelle. "Semua ini terlalu runtut, ada seseorang yang lebih maju selangkah dari kita." ucap Rafael.

Lionelle menelan ludahnya tidak percaya. "Bawa dia pergi." ucap Lionelle pada Rafael. "Aku tidak akan pergi." potong Lou langsung bertekad.

Lionelle langsung bertumpu pada lututnya dan menghampiri gadis itu sambip memegang kedua pundaknya.

"Dengar. Kita tidak bisa memutarbalikkan waktu. Pembunuhnya masih berkeliaran diluar sana, dan kita tidak tahu siapa itu. Jika Lanzo kunjung datang dan ia melihatmu disini, aku tak bisa memastikan kau akan aman." jelas Lionelle dengan tampangnya yang tampak serius.

"Bawa dia pergi!" seru Lionelle kepada Rafael dan tanpa berlama-lama lagi Rafael menarik paksa Lou yang masih saja meronta-ronta.

Setelah dua orang itu berlalu, Lionelle langsung menelepon Lanzo. "Cepat kesini." ujar Lionelle dengan berat hati.

"Ada apa?"

"Keenan dibunuh." jawab Lionelle. Tidak sampai satu detik lamanya, panggilan itu terputus begitu saja dan Lanzo yang berada di seberang memutarbalikkan mobilnya.

Kedua tangannya berkeringat, nafasnya tidak teratur, kepalanya terasa sangat pusing, dan jantungnya berdegup dengan kencang.

Ia terus menerus berteriak dalam hati kecilnya, "Kumohon, jangan dia. Jangan dia. Jangan ambil dia," kalimat itu berulang-ulang kali ia ucapkan. Ia menghantam steer mobil karena ia merasa sangat murka.

Masalah ini hampir saja selesai dan setelah itu ia akan hidup bahagia dengan gadis itu. Namun mengapa??! Mengapa semuanya bisa menjadi seperti ini??

Benar saja. Ketika lelaki itu sampai hal pertama yang ia lihat adalah Keenan yang tergeletak tak berdaya di lantai dengan tubuhnya yang sudah dipenuhi oleh darah.

Ia langsung menghampiri gadis itu sambil menangis. Ia membawa gadis itu kedalam pelukannya. Kedua tangannya bergetar mengelus pipi gadis itu.

Sementara Lionelle yang berada di ujung ruangan pertama kalinya melihat Lanzo sesedih ini. Sungguh. Ia tak pernah melihat lelaki ini menangis sebelumnya.

"Keenan," panggil lelaki itu lembut dengan suaranya yang terisak. Ia memanggilnya berkali-kali sambil tak henti mengelus pipinya.

"Aku sudah datang, kenapa kau masih tidur??" ucap lelaki itu pada titik terendahnya. "Aku sudah datang......." ucap lelaki itu lagi.

Lionelle benar-benar tidak tahan melihat adiknya begitu. Ia langsung menghampiri Lanzo dan hendak menariknya pergi. "Lanzo, dia sudah pergi." ucap Leon berusaha menyadarkan lelaki itu sambil hendak menariknya.

"Kau pasti sangat lelah kan?? Kalau begitu ayo kita tidur bersama-"

"Lanzo, kumohon sadarlah!!" bentak Leon akhirnya.

Lionelle menghembuskan nafasnya frustrasi kemudian melanjutkan, "Jika kau benar-benar merasa bersalah padanya, maka bangun dan cari siapa dalangnya." ucap Leon.

"Aku tidak akan pergi kemana-mana," jawab lelaki itu tak berdaya.

Lionelle pasrah akhirya. "Baiklah kalau memang itu yang kau mau. Aku akan segera melapor pada Leo soal masalah ini. Kau tenang saja." ujar Lionelle.

***

"Raf, apa kau ingat dulu saat Ayah membawa kita bertiga untuk memancing?" tanya Lou dengan tatapan kosongnya. Rafael berdiri tepat disampingnya. "Tentu saja aku ingat. Waktu itu kau, aku, dan Cynthia sangat dekat." jawab Rafael antusias.

Vladexeoun : Sacred ✅ [COMPLETED]Where stories live. Discover now