Hoofdstuk 66 : Zijn Wens

39 6 3
                                    

Sore itu Lanzo berjalan sendiri menikmati indahnya pemandangan matahari tenggelam. Berkali-kali ia menghidup udara segar dengan perlahan, kemudian menghembuskan nafasnya secara perlahan.

Entah kenapa ia merasa jauh lebih tenang. Kemudian ia memanggil Max dan panggilan itu langsung terhubung.

"Aku akan kembali dalam beberapa hari ini, persiapkan semuanya." ucap Lanzo kemudian langsung mengakhiri panggilan itu begitu saja.

Setelah ia melanjutkan berjalan-jalan selama kurang lebih 20 menit lamanya, akhirnya ia menyadari suatu hal yang membuatnya hilang dalam sekejap.

Lionelle yang mengikuti Lanzo bingung seketika. Dimana dia? batin Lionelle sambil melihat ke sekelilingnya sampai kemudian ia mendengar suara Lanzo.

"Sampai kapan kau berencana untuk mengikutiku?" ucap Lanzo dari belakang. Lionelle hampir saja mengumpat. "Apa kau ini alien? Aku hampir terkena serangan jantung," ujar Lionelle.

Lanzo akhirnya tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. "Ada apa kau mengikutiku?" tanya Lanzo akhirnya.

"Kau akan pergi?" tanya Lionelle akhirnya.

Lanzo tertawa pelan. "Kenapa? Kau begitu cinta padaku sehingga kau sudah berubah menjadi pecinta sesama jenis??" balas lelaki itu.

Lionelle tertawa. "Sialan, aku akan merindukan kau yang suka membuat Leo marah." balas Lionelle.

"Tenanglah, aku hanya pergi sebentar untuk memantau," jawab Lanzo.

"Memantau Quezo mu itu?" sambung Lionelle yang membuat Lanzo tersenyum miring.

"Kalau begitu pergilah, tetapi ingat kau harus kembali. Kami akan menunggumu," sambung Lionelle sambil menatap Lanzo.

***

"Dilan menghubungiku.  Sepertinya kita harus balik ke Indonesia." ujar Rafael. Lou menoleh dengan mata sayunya. "Lalu?" balasnya acuh tak acuh.

Rafael menghampiri Lou kemudian duduk disebelahnya. "Aku tahu kau tidak menyukainya dan aku tahu kau menentang pertunangan ini dari awal. Namun bagaimanapun-"

"Baik. Ayo kita balik dan aku akan memutuskan relasi keluarga ini. Pertunangan? Jangan mimpi, aku tak akan menikah." potong Lou kemudian langsung berdiri.

Rafael yang berada disampingnya juga ikut berdiri. "Lou, aku tahu ini sulit bagimu tetapi coba saja dulu. Jika kau menentang pertunangan ini sekarang aku takut kau hanya akan menambah musuhmu. Dan sekarang itu tidak mungkin, melihat semuanya sudah menargetkan kau. Tahan saja sebentar." jelas Rafael.

Sekarang gadis itu melotot pada Rafael.

Kemudian Rafael menaruh kedua tangannya di pundak Lou sambil menatapnya. "Aku janji hanya pertunangan ini. Jika dia ingin lebih maka aku akan langsung bertindak." ucap Rafael meyakinkan gadis itu.

"Jangan bodoh. Memangnya apa yang bisa kau lakukan?" tanya Lou kesal.

Rafael tersenyum kecil. "Tentu saja aku akan mendatangi Pemimpin Quezo yang Agung, jika itu memang diperlukan." jawab Rafael sambil tertawa.

Lou langsung menginjak sepatu lelaki itu dengan heels yang dipakainya. "Astaga, sakit!!" umpat Rafael setengaj meloncat.

"Siapa suruh kau banyak bicara." balas Lou sambil melangkah pergi.

Rafael yang berada dibelakangnya menyusul sambil tertawa. "Pesankan tiket pesawat, kita berangkat malam ini." ujar Lou. "Siap, Nona!" ledek Rafael dari belakang.

Yang ada dibenak gadis itu adalah "Lanzo, tunggu aku. Aku akan segera kembali padamu."

***

Medan, Indonesia

Lou berjalan dengan mantap seperti biasa menggunakan pakaian serba merahnya dengan Rafael yang berjalan mengikuti dibelakangnya.

Ia langsung memasuki ruangan itu walaupun penjaga sudah melarangnya untuk masuk sebelum membuat janji. Lou mengisyaratkan kepada Rafael agar mengurus penjaga itu dan Rafael melayangkan tatapan sinisnya pada penjaga tersebut. "Biarkan dia lewat," ucap Rafael dingin.

Dan Lou langsung membuka pintunya dengan kasar dan ia mendapati Dilan yang tengah duduk di kursi kebesarannya.

Penjaga itu ikut masuk dan menjelaskan, "Anu, Pak. Saya sudah melarang Nona ini masuk-"

"Dia tunanganku." potong Dilan secepat kilat setelah itu bangkit dari duduknya dan hendak menghampiri Lou. "B-Baik, Pak. Maaf menganggu," ujar penjaga itu kemudian keluar meninggalkan Lou dan Dilan berdua diruangan itu.

"Aku tidak menyangka kau akan datang secepat ini," ucap Dilan tersenyum kemudian hendak melingkari tangannya di pinggang Lou. Namun Lou langsung menahan lelaki itu. "Cukup mulut yang berbicara," ucap Lou dingin.

Dilan tertawa kecil. Kemudian ia mendekat pada Lou dan ia dapat menghirup aroma oud kuat yang menempel di tubuh gadis itu. "Parfum mu masih sama," ujar Dilan yang kemudian hendak menarik pinggang gadis itu secara paksa. Itu membuat Lou secara refleks mendaratkan sebuah tamparan di pipi Dilan.

Detik selanjutnya lelaki itu tampak murka dan menarik Lou secara paksa. Lou langsung berteriak dengan emosi. "RAFAEL!" teriaknya dengan lantang yang membuat Rafael langsung memasuki ruangan itu.

Dengan spontan Rafael langsung menghampiri Lou dan menarik Lou ke sisinya. "Mohon jaga sikapmu," ujar Rafael marah.

Dilan tersenyum kecil. "Jaga sikapku? Kaulah yang harus menjaga sikapmu. Dia adalah tunanganku." balas Dilan.

"Dia tunanganmu, bukan istrimu. Dan tolong, jangan terlalu memaksa, ya? Dia tidak butuh kau sentuh. Hargai dia jika kau memang menganggapnya sebagai tunanganmu." ucap Rafael kemudian membawa Lou keluar dari situ.

Ketika mereka di dalam mobil, Lou tampak tidak tenang yang membuat Rafael khawatir. "Apa kau perlu obatmu?" tanya Rafael. Gadis itu menggeleng pelan. Rafael menghembuskan nafasnya. "Ini salahku. Seharusnya aku tidak perlu menyuruh kau kembali kesini." ujar Rafael.

"Tidak. Begini lebih bagus. Aku akan tinggal disini selama sebulan mengingat aku menghargai keluarga mereka yang dulu merupakan teman baik Ayahku. Dan setelah satu bulan, aku akan memutuskan semua hubungan ini yang membuatku jijik." ucap Lou.

"Baik, kau bisa bertahankan sampai 1 bulan?" tanya Rafael. Lou menoleh. "Tentu saja bisa. Setelah 1 bulan aku akan menargetkan Quezo." balas Lou sambil tersenyum simpul.

***

Leo mengenggam tangan Anna yang tertidur di ranjang rumah sakit itu dengan kuat. "Semuanya sudah selesai. Aku tinggal menunggumu bangun. Jika nanti kau sedih, kesal, ataupun marah karena Niccolo sudah tidak ada kau bisa memukulku sebanyak yang kau mau. Aku sangat merindukanmu." ujar Leo.

"Kau tahu? Aku sudah menyiapkan kamar untuk Niccolo. Aku menaruh tempat tidur, mainan, dan aku bahkan menyiapkan beberapa boneka siapa tahu Niccolo juga akan menyukainya." sambung Leo sambil tersenyum dengan matanya yang lembap.

"Kau pasti mengira aku menyuruh para pelayan untuk mempersiapkannya kan? Tidak! Aku menyusunnya sendiri sampai-sampai malam itu aku tidak bisa tidur karena aku merasa sangat capek." ucap lelaki itu melanjutkan sambil tertawa kecil.

"Tapi itu semua tidak sebanding asalkan kau bangun. Jika kau bangun aku akan menunjukkannya kepadamu, betapa indahnya kamar Niccolo yang kususun sendiri."

Kemudian Leo tersenyum simpul, "Aku rasa disaat itu kau akan berkata kepadaku, 'Niccolo akan tidak semangat lahir jika tahu kamarnya sejelek ini.'"

TO BE CONTUNUED
VOTE N COMMENT NEEDED
THANKS
-L Y C A N O




Vladexeoun : Sacred ✅ [COMPLETED]Where stories live. Discover now