Prolog

14.2K 898 49
                                    

Kerlap Semesta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kerlap Semesta.

Walau namanya tidak terlalu menampilkan kalau dirinya adalah seorang laki-laki, tapi Semesta tidak berbohong ketika ia berkata bahwa ia ber-genotipe XY dan andai dilakukan uji seks kromatin, tidak akan ditemukan adanya drumstick di dalam neutrofilnya. Kini berusia sembilan belas tahun dan masih berkuliah semester lima di salah satu jurusan yang populasinya didominasi perempuan. Kalau hidupnya lancar, tiga semester lagi ia akan meraih gelar sarjananya.

Ya, kalau lancar.

Masalahnya, tiba-tiba saja bunda berkata bahwa ia berminat untuk menikah lagi dan sudah memiliki calon. Bukan sesuatu yang akan menghambat pendidikan Semesta sebenarnya, tapi cukup membuatnya berkata "anjir" dalam hati. Mengingat bunda pernah berkata bahwa mungkin ia tidak akan menikah lagi. Baru mungkin, dan jelas kalimat lamanya itu sudah diingkari.

"Oh." Pada akhirnya, hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Semesta. Lagipula, mau berespon seperti apa? Menyemburkan susu rasa madu khusus balita yang sedang diminumnya?

"Nggak apa-apa 'kan?" Bunda bertanya, dengan wajah polos yang masih tampak muda tersebut. Kalau tidak tahu, mungkin orang-orang akan mengira wanita tersebut adalah kakaknya. Entah satu, karena wajah bunda yang terlihat terlalu muda ditambah dengan penampilannya yang modis, atau dua, karena wajah Semesta yang terlihat tua. Baik alasan pertama atau kedua, tidak ada satupun yang Semesta sukai.

"Iya," jawab Semesta singkat. "Nggak apa-apa, kok."

Bunda melipat kedua lengannya di atas meja dan menggembungkan pipinya. Tingkahnya seperti remaja perempuan yang sedang merajuk, padahal usianya berbeda 22 tahun dari Semesta. "Serius?" tanya bunda sekali lagi. 

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Tangannya terjulur, lalu mengambil apel yang ada di atas meja, tepatnya di dekat teko air. "Ya, serius," balas Semesta. "Terus aku harus jawab apa lagi?"

"Ya, apa. Selain itu. Misal kayak kamu respon kaget dulu gitu. Atau misal kamu nggak setuju, terus nyemburin minuman kamu gitu."

"Bunda mau aku sembur pakai susu?"

Bunda terkekeh sejenak. Kedua manik mata yang awalnya berbentuk bulan sabit itu lantas menyipit. Sinarnya jadi sedikit tertutupi, namun di mata Semesta masih tetap terlihat indah dan memesona.

"Jangan jahat sama bunda kamu sendiri."

Sejujurnya, jawaban bunda benar-benar di luar ekspektasi Semesta.

"Ya, intinya aku nggak masalah Bunda mau nikah lagi atau tetap sendiri. Kalau emang ada yang ngajak serius, sama-sama cocok, dan Bunda mau, yaudah." Semesta melanjutkan. Apel yang belum dimakannya digelindingkan begitu saja. "Biarkan anakmu ini tetap jomlo. Nggak apa-apa, asal Bunda bahagia, gitu."

"Ck, dasar jomlo," ucap bunda dengan nada mencibir. 

"Jangan jahat sama anak sendiri."

"Biarin." Bunda menjulurkan lidahnya, mengejek Semesta. Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju kulkas. "Kamu mau keju?"

Untuk kesekian kalinya di pagi ini, Semesta merotasikan kedua bola mata bermanik cokelat terangnya. Ia ikut bangkit, lalu memungut tas yang tergeletak di samping kursi. "Hari ini aku ada kuis."

Bunda yang awalnya sedang mengambil keju di dalam kulkas, langsung berhenti bergerak. "Oh. Udah belajar?"

"Aku udah belajar." Kedua tungkai jenjang Semesta melangkah, menghampiri bunda. Ia ikut berjongkok di sebelah wanita tersebut. "Tapi, Maternitas. Aku nggak suka."

"Yaudah, sambil buka hape aja," cetus bunda, seolah tanpa berpikir lebih lanjut. "Atau enggak, kamu duduk di belakang, terus pakai earphone—"

"Udah, ah. Ajaran Bunda nggak ada yang benar." Semesta memotong ucapan bunda sebelum ia bicara makin jauh. "Aku mau berangkat."

"Yaudah sana." Bunda menjulurkan tangan, lalu mengibaskannya, seolah mengusir Semesta. "Oh, iya. Ngomong-ngomong, kalau kamu setuju Bunda nikah lagi, berarti kamu mau terima 'kan kalau kamu punya saudara?"

Semesta untuk sesaat tertegun. Ia terbiasa sendiri. Memiliki saudara sepertinya akan cukup membuatnya merasa aneh. Setidaknya, dengan begitu, ia harus berbagi kasih sayang bundanya. 

Namun, tetap saja Semesta mengangguk. "Aku terima aja, Bun," jawab Semesta pada akhirnya.

Senyum bunda merekah, tampak hangat dan menyenangkan untuk dilihat. "Yaudah kalau gitu. Nggak ada masalah lagi, nanti Bunda kenalin, oke?" Bunda merentangkan tangannya, lalu meraih tubuh Semesta dan mendekapnya. "Sayang Bunda, makasih, ya."

Pelukan bunda terasa hangat, membuat Semesta tanpa sadar ikut tersenyum. "Nggak mau bilang terima kasih kembali. Nggak apa-apa 'kan?"

"Harus bilang!"

Semesta tergelak sesaat. "Yaudah, yaudah." Senyum Semesta tampak tipis. "Terima kasih kembali, Bunda."

[To be continued]

A/n

Mau serius sama yang ini ... mau serius wkwkwk


KelabuWhere stories live. Discover now