41. Perjanjian

868 61 3
                                    

Dua keluarga pemilik perusahaan besar itu tengah makan malam bersama di sebuah Restoran bintang lima, hidangan-hidangan lezat nan mewah sudah tersaji di hadapan mereka.

"Sudah lama sekali ya kita tidak makan malam bersama seperti ini," ucap Mayang membuka obrolan.

"Ya, sangat lama," balas Sarah. Seperti biasa, ibu dari Clarissa itu selalu terlihat elegan dengan pakaian serta aksesoris mahalnya. "Aku dengar putramu pergi dari rumah. Apa itu benar Tuan Wirasana?"

Gerakan Tuan Wirasana terhenti. Perlahan Ia meletakkan alat makannya. Kemudian mendongak menatap Wanita di hadapannya. "Benar," jawab Tuan Wirasana apa adanya.

"Lalu bagaimana dengan perjanjian kita? Tentang perjodohan itu."

"Sayang, kita bicarakan itu setelah makan," tegur suami Sarah, Pandu Nalandhipa.

Sarah menatap Sang suami. "Tidak bisa. Ini menyangkut putriku, Clarissa."

"Apa kamu ingin bermain-main dengan keluarga Abraham, Wirasana? Apa kamu lupa siapa yang telah membantu perusahaan kecilmu yang dulu hingga menjadi salah satu perusahaan besar sekarang ini? Apa kamu merasa sudah pantas untuk mempermainkanku dan putriku?" Tatapan merendahkan itu didapatkan oleh Wirasana dari Wanita di hadapannya.

Baik Mayang maupun Pandu hanya bisa membisu, mereka bingung darimana mereka harus menyela pembicaraan tersebut, terlebih lagi kesepakatan itu dibuat oleh Sarah dan Wirasana sendiri.

"Perjodohan itu akan tetap terjadi." Setelah sekian lama terdiam, Wirasana akhirnya angkat bicara. "aku pastikan Clarissa dan Kalevi cepat atau lambat akan segera bertunangan."

Sarah terdiam, mengamati wajah teman SMA nya dahulu.

"Bagaimana jika Kalevi menolak?" tanya Sarah.

"Aku akan memaksanya."

"Lalu nasib Clarissa? Aku tidak ingin putriku tersakiti nantinya."

Wirasana termenung untuk sesaat, kemudian menjawab, "aku pastikan putrimu bahagia, apapun caranya."

Mayang menatap suaminya. Bagaimana dia bisa bicara seperti itu? Memastikan kebahagian anak orang lain, begitupun dengan Pandu, entah mengapa hatinya merasa gusar ketika melihat ekspresi Wirasana, ditambah dengan ucapannya barusan.

Tiba-tiba Sarah tertawa, mengalihkan perhatian Wirasana, Pandu, dan Mayang. "Kamu tak pernah berubah, Wirasana. Sifat ambisiusmu saat SMA dulu ternyata tidak pernah hilang ya," ucapnya.

Wirasana diam.

"Tapi itu bagus." Wajah Sarah kembali datar. "bukankah sifat ambisiusmu itu yang membuat kamu menjadi seperti sekarang?"

Sarah mendekatkan wajahnya pada Wirasana. "Aku tak peduli dengan cara apa kamu menepati perjanjian kita. Tetapi kamu sudah menjanjikan kebahagian untuk putriku, Jadi tepatilah janjimu," bisiknya.

"Aku akan menepatinya, meski hal itu menjadikanku manusia paling buruk sekalipun," kata Wirasana.

Lagi, hati Pandu merasa tidak tentram dengan ucapan Wirasana, Sebab perihal ini bersangkutan dengan putri kandungnya, Meysha.

"Baiklah." Sarah bangkit dari tempat duduknya. "Aku percaya padamu, dan jika kamu mengingkari perjanjian kita, maka bersiaplah kehilangan segalanya," ucapnya sarat akan ancaman.

Tanpa pamit Sarah berlalu dari sana meninggalkan suaminya bersama dengan keluarga Wirasana. Merasa canggung karena sikap istrinya yang kurang sopan, Pandu pun ikut bangkit.

"Maafkan sikap istri saya, Tuan Wirasana. Kalau begitu saya juga pamit, permisi," pamit pandu, menyusul istrinya yang sudah pergi.

"Mas." Mayang menyentuh bahu suaminya ketika lelaki itu hanya diam sambil menggenggam pisau dan garpu dengan erat.

KaleviWhere stories live. Discover now