56. Kabar duka

1K 62 1
                                    

Malam itu Kalevi dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di rumah. Kalevi merasa akhir-akhir ini orang tuanya lebih sering meluangkan waktu untuknya. Entah demi anak semata wayangnya itu atau demi kelangsungan acara pertunangan satu bulan mendatang, entahlah Kalevi juga tidak tahu. Ia sudah muak berpikir keras. Mungkin memang inilah ketulusan kedua orang tuanya yang ingin memperbaiki apa yang telah mereka rusak sejak dulu.

"Kalevi mau ini? Mamah masakin spesial buat kamu loh," tawar Mayang kepada putranya, hendak mengambilkan udang untuk Kalevi.

Kalevi menatap Mayang dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. "Saya alergi udang," ucap Kalevi.

Mayang mematung untuk sesaat dengan sandok berisi udang yang mengapung di udara. "Oh iya, maaf Mamah lupa kalo kamu alergi udang." Mayang tertawa garing.

Tuan Wirasana melirik ke arah istrinya yang sekarang sudah melanjutkan makannya yang sempat tertunda. Bedanya, sekarang Mayang terlihat tidak berselera. Wajahnya pun terlihat sendu setelah Kalevi menolak tawarannya tadi. Wirasana akui Mayang adalah ibu yang buruk, sampai tidak mengetahui alergi apa yang dimiliki putranya.

"Ibu yang buruk. Bahkan saya ragu apakah kamu masih pantas dipanggil dengan sebutan seorang ibu atau tidak," celetuk Wirasana.

Mayang menatap suaminya tajam. Ia sedang bersedih, tetapi Wirasana malah membuat perasaannya semakin buruk. Mayang memang ibu yang buruk, tetapi Ia tidak akan terima jika dihina oleh seorang yang jauh lebih buruk darinya. Memangnya apa yang diketahui Wirasana tentang putranya? Tidak ada!

"Lalu apakah kamu juga masih pantas dipanggil dengan sebutan Ayah?" tanya Mayang menantang.

Suasana tenang yang sempat tercipta untuk sesaat tadi mulai menghilang, hawa permusuhan pun mulai terasa menusuk. Kalevi memutuskan tetap melanjutkan makannya, seolah tidak terjadi apapun di depan mata. Perdebatan orang tuanya adalah makanan Kalevi sejak kecil. Jadi, yang harus Kalevi lakukan ialah berpura-pura buta dan tuli. Sudah Ia duga, kehangatan ini hanyalah sandiwara.

"Jangan samakan aku denganmu.  Aku sudah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang Ayah dengan baik, yaitu bekerja untuk menafkahi kalian. Sementara kamu? Selain gagal menjadi seorang istri, kamu juga gagal menjadi seorang ibu," balas Wirasana dingin, menusuk tepat ke hati sang istri.

Ini sangat lucu bagi Kalevi, menyaksikan dua orang yang gagal menjadi orang tua yang baik untuk anaknya saling melempar kesalahan satu sama lain, membicarakan tentang kewajiban yang gagal mereka penuhi. Dua orang di hadapannya sekarang ini bahkan mungkin tidak mengerti apa itu peran dan kewajiban orang tua yang sesungguhnya untuk seorang anak.

"Berhenti merasa dirimu paling benar! Kamu adalah orang yang paling buruk di keluarga ini, Tuan Wirasana. Kamu adalah satu-satunya orang yang patut disalahkan atas hilangnya keharmonisan di keluarga ini!" Mayang menyalahkan.

"Beraninya kamu berkata seperti itu!"

Prang!

Perdebatan itu terhenti, tangan kekar Tuan Wirasana yang hendak menampar sang istri pun masih mengapung di udara, belum sempat menyentuh pipi mulus Mayang. Sepasang suami istri tersebut menatap ke arah anaknya yang baru saja menjatuhkan sandok dengan kencang di atas piring, menghasilkan dentingan yang cukup nyaring.

"Tolong ubah kebiasaan kalian yang selalu berdebat di depan makanan. Ini meja makan, bukan meja hijau." Kalevi menengahi.

Baik Tuan Wirasana dan Mayang kembali duduk. Suasana mulai tenang setelah keduanya mampu meredam amarah masing-masing. Sebenarnya keduanya sudah sepakat untuk akur sampai acara pertunangan Kalevi dilangsungkan, tetapi nyatanya begitu sulit bersikap damai hanya untuk satu hari saja. Ada saja hal-hal yang membuat mereka bertengkar. Bahkan hal kecil dan sepele sekalipun mampu menyulut emosi mereka.

Dari dapur perhatian Bi Siti terus terpusat pada remaja laki-laki di meja makan. Hatinya terasa ikut tersayat melihat wajah tampan dengan ekspresi tenang itu. Bi Siti yakin isi hati Kalevi tidak setenang wajahnya, mata hitam pekatnya menyiratkan bahwa Ia sedang tidak baik-baik saja. Kapan ini akan berakhir? Sejak kecil Kalevi tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya. Dan ketika Kalevi menemukan bahagianya di luar, semuanya direnggut dari anak itu oleh mereka hanya demi bisnis.

"Papah harap kamu bisa bersikap baik kepada Clarissa, Kalevi. Dan cobalah untuk mulai mencintainya. Ingat, kalian adalah calon tunangan dan kelak akan hidup bersama sebagai sepasang suami istri," pesan Tuan Wirasana.

"Ya, terima kasih telah mengingatkan saya setiap saat," sarkas Kalevi, mulai bosan dengan ucapan sang Papah yang terus diulangi.

Handphone yang Tuan Wirasana letakkan di atas meja makan tiba-tiba berbunyi, mengintrupsinya untuk berhenti makan dan segera mengangkat panggilan dari nomer tak dikenal tersebut.

"Halo." Tuan Wirasana mengawali percakapan.

"-_-"

"Ya dengan saya sendiri, ada apa?"

"-_-"

"APA?!!"

Baik Kalevi maupun Mamahnya ikut terkejut ketika Wirasana tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Perhatian Kalevi tak terputus dari Sang Papah. Dari wajah tegang Papahnya saja Ia bisa membaca bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk.

"B-baik, saya akan segera ke sana," balas Tuan Wirasana dengan suara bergetar.

Setelah panggilan berakhir, Wirasana kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi, badannya Ia sandarkan di punggung kursi, seakan tak memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri. Hal tersebut membuat Mayang dan Kalevi khawatir, pertama kalinya mereka melihat sang kepala keluarga bersikap seperti ini. 

"Ada apa?" tanya Mayang.

Lelaki paruh baya itu menoleh ke arah istrinya, dengan suara lemah Ia berkata, "Bram, dia ditemukan meninggal di dalam rumahnya oleh polisi."

Kalevi terhenyak, sama seperti reaksi Papahnya saat menerima kabar tadi, tubuh Kalevi seketika ikut melemas. Mereka baru saja bertemu dua hari yang lalu, dan sekarang Pak Bram sudah tak bernyawa. Sementara Mayang membekap mulutnya kaget. Tak percaya jika kaki tangan suaminya yang dua hari lalu berkunjung ke sini telah meninggal dunia.

"Bagaimana bisa? Apakah dia sakit?" tanya Mayang.

Tuan Wirasana menggeleng. "Dugaan sementara polisi mengatakan bahwa dia meninggal bunuh diri dengan menenggak racun yang ditemukan tergeletak di sebelah mayatnya," tutur Tuan Wirasana.

Tidak, tolong katakan jika kabar ini tidak benar. Kalevi bahkan belum sempat meminta penjelasan kepada Pak Bram mengenai maksud dari ucapannya dua hari yang lalu. Sekarang kemana lagi Kalevi akan mencari titik terang dari masalah yang Ia alami? Mayang dan Tuan Wirasana menautkan alisnya ketika Kalevi tiba-tiba bangkit dan berjalan meninggalkan meja makan.

"Kalevi," panggil Mayang. Namun, dihiraukan oleh anaknya.

"Siapkan pakaianku, aku harus ke rumah Bram sekarang," ucap Tuan Wirasana yang diangguki patuh oleh istrinya.

Setelah sampai di kamar, Kalevi mengunci pintunya. Seperti Zombie Ia berjalan menuju tilam dan duduk di atasnya. Untuk waktu yang cukup lama Kalevi berdiam diri dengan pandangan yang kosong. Otaknya seakan berhenti bekerja, lelaki itu mematung seperti orang linglung.

"Hahaha."

Tiba-tiba Kalevi tertawa tidak jelas hingga tawa itu lama kelamaan berubah jadi tangisan. Lelaki itu menjambak rambutnya frustrasi sambil memukuli kepalanya sendiri. Kini otaknya sudah buntu. Ia tak akan tahu siapa orang yang telah meneror Meysha, Ia juga tak akan tahu alasan mengapa nyawa Ayahnya terancam. Jawaban itu telah terkubur bersamaan dengan meninggalnya Pak Bram.

"ARGGHHHH!"

Bagaimana Kalevi keluar dari ini semua? Mengapa Ia selalu di tempatkan dalam posisi yang rumit? Ke arah mana lagi Kalevi harus melangkah? Tidak, Ia tidak dapat berpikir lagi. Bahkan Kalevi tidak lagi memiliki kesempatan untuk memilih jalan mana yang harus Ia tempuh, semuanya menyeretnya ke jalan buntu.




KaleviWhere stories live. Discover now