80. Mencoba Menjadi Egois

1K 96 4
                                    

Hidup bukan cuma tentang kalah atau mengalah
Terkadang manusia memang dipaksa harus sedikit egois untuk meraih kebahagiannya

~Amira Nalandhipa~

Meysha terbangun, dan hal pertama yang Ia lihat adalah langit-langit rumah sakit berwarna putih kontras dengan warna dinding-dinding ruangan rawat inap yang ditempatinya saat ini. Ia beralih menatap seorang perempuan yang tengah tertidur dengan posisi duduk di sisi ranjangnya. Wajah Amira terlihat sangat damai ketika tertidur.
Meysha mencoba mengingat apa yang membuatnya berada di sini. Lalu ingatannya tertuju pada Kalevi. Sontak gadis itu bangkit dari posisi tidurnya hingga membuat Amira yang merasakan pergerakannya ikut terbangun.

"Alhamdulillah kamu udah bangun, Sya. Kakak khawatir banget waktu liat kamu pingsan semalem," kata Amira, menggenggam tangan dingin adiknya.

Semalam? Tunggu, sudah berapa lama Meysha berada di sini? Ia melihat ke arah jam dinding rumah sakit, Jam menunjukkan pukul 1 siang.

"Gimana keadaan Kalevi, Kak?" tanya Meysha khawatir, menatap Amira untuk menuntut penjelasan darinya.

Amira menggeleng lemah. "Kakak gak tahu, semaleman Kakak di sini jagain kamu," ucapnya.

Tidak, jawaban Amira tidak membuat Meysha merasa puas ataupun mengurangi kekhawatirannya pada Kalevi, satu-satunya cara adalah mencari jawabannya sendiri. Ia harus menemui Kalevi sekarang juga, memastikan bahwa lelaki yang sangat Ia cintai itu dalam keadaan baik-baik saja.

"Kamu mau kemana Sya?!" seru Amira marah ketika Meysha hendak turun dari brankernya.

"Meysha harus ketemu Kalevi Kak, Meysha mau memastikan keadaannya," ucap Meysha, masih berupaya untuk berjalan.

"Gak! Kakak gak ngizinin! Kamu aja masih belum sepenuhnya pulih, Kakak gak mau kamu sakit lagi." Amira menahan tubuh adiknya agar tetap tinggal.

"Kakak gak ngerti, Meysha harus ketemu Kalevi, Meysha khawatir sama dia, Meysha takut Kalevi kenapa-napa Kak," ucap Meysha mulai terisak.

"Kalevi baik-baik saja."

Suara berat itu mengintruksi Kakak beradik tersebut untuk menoleh. Sudah ada Pandu, Ayah kandung mereka yang berdiri di ambang pintu sambil membawa plastik yang entah apa isinya.

"Papah?" gumam Meysha, wajahnya mengeras.

Pandu tersenyum, berjalan menuju kedua putrinya. Ia meletakkan makanan yang baru saja dibelinya di kantin rumah sakit di atas nakas, lalu berdiri di sisi lain dari branker putri bungsunya. Meysha membuang muka ke arah Amira, enggan untuk menatap wajah sang Papah. Pandu kembali tersenyum, memaklumi sikap anaknya. Ia kemudian mengambil Bubur yang Ia beli khusus untuk Meysha, berniat untuk menyuapinya. Pandu duduk sambil membuka bungkus Bubur tersebut.

"Amira makan dulu ya, Papah udah beliin kamu roti sama susu. Pasti semaleman kamu belum makan karena jagain Adik kamu," ucap Pandu tersenyum ke arah putri sulungnya. "Meysha biar Papah yang suapin."

Amira melirik ke arah adiknya yang masih dalam posisi yang sama, yaitu membuang muka dari Pandu. Sementara Pandu sibuk mempersiapkan untuk menyuapi Meysha. Pria yang kini menginjak kepala empat itu menyodorkan sendok berisi Bubur ke arah bibir Meysha.

"Aaa, Sayang, keburu dicuri Kak Amira," kata Pandu seperti sedang menyuapi anak kecil.

Perlahan Meysha melirik Papahnya yang tengah tersenyum lebar, menunggu Meysha melahap suapannya. Adegan ini seolah melempar Meysha ke masa lampau, ketika Meysha kecil tak akan mau kalah dan didahului oleh Kakaknya. Entah itu pelukan dari Papah mereka saat pulang kerja, atau suapan dari Mamah mereka berdua.

KaleviWhere stories live. Discover now