36. Pergi

967 74 2
                                    


"Den Kalevi malam-malam begini mau kemana? Kenapa baju-bajunya dimasukin ke dalam tas?" tanya Bi Siti kepada seorang remaja laki-laki yang sibuk memasukkan baju dari lemari ke dalam tas Sekolahnya.

Kalevi tak menggubris Wanita paruh baya yang telah merawatnya sejak kecil itu. Emosinya masih belum stabil. Ia hanya tidak ingin menyakiti Bi Siti dengan ucapannya.

"Den Kalevi."

Gerakan Kalevi terhenti ketika tangan Bi Siti menyentuh lengan kekarnya. Lelaki itu memejamkan matanya, berusaha mengontrol emosi yang kini tengah menguasai diri. Kalevi berbalik, berhadapan dengan Bi Siti.

"Tolong jangan ganggu Kalevi dulu ya, Bi," pintanya kemudian kembali berkutat dengan aktivitas sebelumnya.

Bi Siti mundur dengan mata yang berkaca-kaca. Ia yakin Kalevi sedang tidak baik-baik saja. Tujuh belas tahun Bi Siti mengenalnya, tetapi baru hari ini Ia melihat Kalevi segusar dan semarah ini. Setelah dirasa sudah selesai, Kalevi membawa tasnya itu menuruni tangga, diikuti Bi Siti yang terus memohon kepada Kalevi untuk tidak pergi.

Tepat saat Kalevi sampai di ruang tamu, pintu utama dibuka oleh Sopir Pribadi Tuan Wirasana, dan saat itu juga nampak kedua orang tua Kalevi yang baru saja pulang dari kantor.

"Kalevi?" Mayang berlari kecil ke arah putranya ketika mendapati Kalevi menenteng tas Sekolah yang terlihat begitu berisi. "Kamu mau kemana malam-malam seperti ini, Sayang?" tanyanya gusar sambil menyentuh lengan Kalevi.

"Mau kemana kamu, Tuan muda Wirasana?"

Perhatian Kalevi beralih pada seorang lelaki berbalut jaz hitam rapih. Tatapan tajam Kalevi tak kunjung melunak tatkala Papahnya berjalan dengan wibawa menuju ke arahnya.

"Apa kamu ingin pergi dari rumah?" tanya Wirasana.

Tangan Kalevi terkepal kuat. Wajahnya memerah padam. "Saya tidak sanggup lagi hidup di bawah naungan anda!" jawab Kalevi penuh penekanan.

"Kalevi jangan bicara seperti itu!" tegur Mayang.

Bukannya marah, Tuan Wirasana malah tersenyum. Ia berjalan semakin mendekati anak semata wayangnya, hingga keduanya benar-benar berhadapan dengan sengit.

"Apa salah Papah?"

Kalevi berdecih jijik. "Anda salah jika berpikir bahwa saya tidak tahu apa yang telah anda perbuat."

"Apa yang Papah perbuat sampai kamu semarah ini?" Wirasana bersikap seolah tak tahu apa-apa.

Kilat amarah itu kembali tampak di mata Kalevi. Jika saja bukan Papahnya, mungkin lelaki di hadapannya ini akan berakhir di rumah sakit karena mendapat serangan bertubi-tubi dari Kalevi.

"Anda yang telah meneror Meysha, Bukan?"

"Apa kamu memiliki bukti? Sudah Papah peringatkan jangan pernah menuduh orang tanpa adanya bukti," Wirasana memperingati.

Kalevi menunjukkan surat yang telah dipungutnya dari tempat sampah di depan rumah Meysha. "Ini cara menjijikkan anda untuk menjauhkan saya dari Meysha, Bukan?"

Sudut bibir Tuan Wirasana terangkat. Ternyata anak buahnya itu melaksanakan perintahnya dengan baik. Sangat baik. "Bisa membuktikan bahwa itu adalah perbuatan saya?"

"Mana mungkin Papahmu melakukan itu, Kalevi. Untuk apa Papah mengotori tangannya hanya untuk bermain-main dengan gadis pembawa sial seperti dia," ujar Mayang.

Tatapan tajam itu beralih pada seorang Wanita di sampingnya. "Jangan pernah anda berani menghina gadis saya!" Wajah Mayang berubah menjadi sendu ketika putranya membela orang lain.

Kalevi kembali tertuju pada Papahnya. "Bukan anda, Tapi orang suruhan anda yang melakukannya. Bagi orang kaya seperti anda, memerintahkan orang lain untuk meneror pacar saya bukankah perkara yang sulit."

KaleviWhere stories live. Discover now