+ Ending ; Asmaraloka

15.2K 520 46
                                    

Deruan ombak bersama tiupan damai membawa semilir bayu itu cukup menghantarkan ketenangan pada sekeping hati yang bergundah-gulana. Hamparan biru zamrud, luas terbentang berhadapannya membuatkan beban yang tertanggung setinggi ancala ini perlahan memudar dan hanya meninggalkan jejak-jejak sepi bahkan rindu yang renjana.

Sesekali dia memandang lantai berpasir yang sudah menelan hampir separuh kakinya. Damai, cukup damai dan tenang. Ribut jiwa yang dialami selama ini seakan perlahan-lahan beranjak pergi menghentikan persengketaan dalam hati. Bagaskara kelihatan terang menerangi hari ini, membawa netra itu tenggelam dalam lautan jiwa.

Bermula dengan sekeping hati yang dicampakkan rasa cinta memenuhi belahan jiwa, yang menuntun kepada sebuah persengketaan antara dua jasad berlainan jiwa dan luluhan rasa. Sehingga akhirnya dia jatuh terlampau dalam pada pesona sang jejaka, yang membawanya terjerat sendiri merelakan rasa hati yang cukup perih.

Jika diimbas, dirasakan perhubungan jiwa itu tiada jalannya. Terkandas, tak bertemu. Namun mungkin kerana rasa ini sifatnya nirmala, tak bernoda, suci dan mungkin petanda Sang Pencipta maka akhirnya dua jiwa berlainan jasad dan jantina itu disatukan dalam satu akad. Saksinya rasa cinta. Membawa mereka melangkah ke dalam asmaraloka. Menyemai, menghargai dan mencintai sesuai rasa hati.

Pembubaran itu wajar berlaku, namun ingatlah wahai penduduk buana. Sang Pencipta tidak suka, dia bahkan murka dan menegah kecuali penceraian kerana renggang nyawa. Pembubaran perkahwinan, bahkan hanya menjadi jalan paling akhir bagi setiap permasalahan.

" Puan Hanis Aqasha. " seru satu suara.

Dia yang sedari tadi memandang luasnya lautan menoleh ke arah gerangan suara. Maka dua pasang netra bertemu.

" Nescafe? "

Huluran tin Nescafe Latte bertukar tangan namun wajah Hanis masih berkerut, memandang gerangan wanita yang menjadi tanda tanya. Siapa?

" Isteri Encik Megat Idran Hakim, am I right? " suara itu memecahkan keheningan antara mereka.

" Siapa? " soal Hanis sekali lagi, dia menoleh menatap wajah gadis itu. Bertudung hijau mint bersama padanan kemeja putih. Manis, tapi siapa? Jangan jangan..

" Wafa. Wafa Hani, peguam bela. Rakan kerja Megat Idran. Erm I mean kami pernah dalam satu kes yang sama. " ujar gadis itu membuatkan Hanis hanya kelu lidah.

" You nampak terkejut? No worries, I datang sini sendiri and I tak tahu pun you ada dekat sini, kebetulan I jalan tadi nampak macam kenal that's why I tegur you. " tokok gadis itu lagi. Hanis hanya menganggukkan kepala perlahan, tak berniat menyambung perbicaraan ini.

" If I'm not mistaken, you also seorang pendakwa, right? "

" Ye, tapi dulu. I dah quit. " balas Hanis, singkat.

" So you mesti tahu kes yang Idran handle sebelum ni, kes Ashmira. " tambah Wafa, gadis itu sesekali menyedut Nescafe Latte miliknya yang hampir tandas.

" Sorry to hear, I baru tahu yang you kena culik. "

Hanis diam. Keliru. Perempuan ni kenapa? Ada apa sebenarnya?

" You know what, Idran tu dah lama jadi target ramai orang. "

Hanis tak berniat untuk bersuara, hanya pendengarannya sahaja dibiar bekerja saat ini.

" And to be honest, target I jugak. I antara orang-orang yang nak tengok seorang Megat Idran jatuh. " ujar Wafa selamba, dia membuang pandang ke arah hamparan biru laut membiarkan sepasang netra disisinya memerhati.

" Megat Idran, selagi kes yang dia handle tak menang selagi tu dia work hard untuk kes tu. " Wafa bangun meninggalkan Hanis yang masih terduduk atas pangkin di bawah pohon yang rendang.

Hati Ini Milik Siapa? Where stories live. Discover now