127. Dendam Tersembunyi II : Mentari Pagi.

270 48 2
                                    

Uang, merupakan benda yang bisa menjadi berkah maupun kutukan, sebuah benda yang memberikan kebahagiaan, namun bagaikan pedang bermata dua juga dapat membawa kehancuran. 

Keserakahan yang berlebih untuk mendapatkannya, membuat seseorang dapat kehilangan sisi kemanusiaan, bahkan harga dirinya hanya untuk mendapatkan beberapa lembar dari benda tersebut.

Ini adalah kisah seorang gadis kecil yang menjadi korban dari benda itu.

Kisah seorang gadis yang kehidupannya seketika berubah 180 derajat tepat ketika ia masih berusia 5 tahun.

Gadis itu dulunya merupakan gadis yang periang, dengan rambut pirang dan senyuman khasnya, ia hidup bahagia bersama dengan kedua orang tuanya. 

Sifatnya itu ia warisi dari ayahnya yang merupakan seorang nelayan, ia  akan selalu pulang kerumah dengan ikan tangkapan dan sebuah senyuman lebar yang terukir di wajahnya.

"Lihat-lihat, ayah membawa ikan tuna yang sangat besar!" ucap sang ayah, sambil memamerkan ikan itu pada seorang gadis kecil.

"Ayah, aku takut...." Gadis itu disisi lain terlihat ketakutan. Ikan itu sangatlah besar lebih besar dari tubuh mungilnya, membuat ia berpikir ikan itu dapat menelannya hidup-hidup.

Sang ayah disisi lain mulai tersenyum penuh makna, ia kemudian mendekatkan ikan tersebut kepada sang gadis, membuatnya segera berlari menjauhi ikan tersebut.

"Hohoho.... Aku suka makan daging anak-anak, dan sepertinya gadis kecil ini sangatlah lezat." ucap sang ayah sambil menggerakkan mulut dari ikan tak bersalah tersebut, membuat gadis itu semakin ketakutan dan berlari sejauh mungkin.

Sang ayah mulai tertawa terbahak-bahak dan kemudian mengejar gadis tersebut.

Suasana keluarga itu bisa dibilang cukup harmonis, dengan suara tawa sang gadis yang selalu terdengar menghiasi rumah. Ibunya akan selalu membuatkannya makanan yang enak dan sering bermain dengannya dikala senja. 

Senyuman terus menerus menghiasi wajahnya, membuatnya dijuluki sebagai mentari pagi oleh warga sekitar. Ia hidup dengan begitu bahagia, setiap hari ia akan selalu berjalan-jalan didesa maupun pergi ke laut untuk sekedar melihat atau membantu ayahnya menangkap ikan. 

Namun semua senyuman dan kebahagiaan itu harus sirna ketika Ibunya meninggalkan dirinya dan ayahnya untuk hidup bersama dengan pria kaya.

Hal itu membuat ayahnya sakit hati dan mengalami depresi, senyuman yang selalu menghiasi bibirnya seketika menghilang, digantikan dengan bau alkohol yang menyengat.

Ya... Ayahnya kini sering mabuk-mabukan, tak jarang ia bahkan menyiksa gadis tersebut  dikala dirinya sedang kesal. Suara tawa yang selalu terdengar menghiasi rumah, kini menjadi suara teriakan pilu dari gadis itu setiap harinya.

Ia sering dipukul dan dicambuk, bahkan tak jarang rambut pirangnya dijambak, dan kepalanya dibenturkan ke dinding hingga berdarah.

Tak banyak yang mengetahui, alasan sebenarnya sang ayah tega melakukan hal itu kepada anaknya sendiri. Wajah gadis itu sangatlah mirip dengan wajah ibunya, membuat sang ayah selalu merasa kesal ketika melihat wajah tersebut.

Wajah gadis itu selalu mengingatkannya pada pengkhianatan yang dilakukan oleh sang ibu, membuat ia hanya bisa melampiaskan kekesalannya kepada anak tak berdosa tersebut.

Para warga desa sebenarnya merasa iba, namun apa daya? Desa tersebut bisa dibilang berada di daerah pulau yang sangat terpencil, kantor polisi sangat jauh dari jangkauan para warga desa.

Para pemuda pergi meninggalkan desa dan bekerja untuk pria kaya yang sebelumnya merebut istri dari sang ayah, membuat hanya beberapa wanita dan orang tua saja yang tersisa dan tak ada satupun yang berani menolong setelah salah satu dari mereka dibuat babak belur, bahkan hampir meregang nyawa akibat berusaha untuk menolong gadis itu.

Sang gadis hanya bisa menahan rasa sakit, sembari memeluk satu-satunya boneka pemberian ibunya yang tersisa. Ia memang menyembunyikan boneka tersebut dari ayahnya, takut jika satu-satunya peninggalan ibunya itu dibuang oleh sang ayah.

Gadis itu sangat ingin pergi ke kota dan menemui ibunya, ia bahkan secara sembunyi-sembunyi mengumpulkan uang, atau lebih tepatnya mencuri beberapa uang dari sang ayah ketika ia kehilangan kesadaran akibat mabuk berat, hanya untuk ketahuan dan penyiksaan yang dialaminya bertambah berat.

Di samping itu, boneka peninggalan ibunya pun akhirnya diketahui oleh sang ayah yang segera membakarnya tepat dihadapan matanya. Untungnya segera setelah membakar boneka itu, sang ayah segera masuk ke dalam rumah tanpa wajah peduli sama sekali.

Hal itu membuat sang gadis  buru-buru menyelamatkan boneka tersebut, hanya untuk mendapatkan luka bakar di tangannya dan hanya bisa menyelamatkan boneka yang telah gosong.

Ia hanya bisa memeluk boneka tersebut sambil mengeluarkan air mata. Hanya boneka itulah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa tenang, setelah mengalami sesi penyiksaan oleh sang ayah setiap harinya.

Tekad untuk pergi menemui sang ibu perlahan menghilang, ia hanya bisa berharap seseorang akan datang menyelamatkannya dari monster yang ia sebut sebagai ayah.

Hingga akhirnya hari itu datang, seorang warga desa yang sudah tak tahan lagi menyelinap dan membawa gadis tersebut pergi.

"Tante Novi?"

Sang Gadis kecil nyatanya mengenal warga desa tersebut sebagai Tante Novi, seseorang yang sangat dekat dengan ibunya. Keduanya bisa dibilang merupakan kenalan dekat bagaikan saudara, sebelum ibu sang gadis pergi dari desa tersebut.

"Hah.... Tak kusangka dia sampai berbuat seperti ini pada anaknya sendiri." Novi mulai menatap gadis itu dengan tatapan pilu di wajahnya.

Beberapa bekas luka sayatan cambuk terlihat memenuhi tubuh sang gadis, darah dan nanah terlihat muncul di sekeliling luka itu, wajahnya yang dulunya selalu ceria kini dipenuhi lebam dan terlihat kosong, seakan tak memiliki semangat hidup lagi.

Menyeka air matanya, Novi kemudian mengobati luka gadis itu dengan obat seadanya, sebelum memberi gadis itu beberapa uang saku dan memintanya untuk pergi sejauh mungkin dari tempat itu.

"Aku sebenarnya tidak ingin membiarkanmu pergi sendirian, tapi jika aku ikut denganmu dan orang itu menyadarinya, ibuku bisa dalam bahaya." Menghela nafas, Novi kemudian menuliskan sesuatu pada sebuah kertas, sebelum memberikannya kepada gadis tersebut.

"Seingatku ibumu berada di alamat ini, kau adalah gadis yang cerdas bukan? Aku yakin kau bisa menemukannya dengan cepat." Tersenyum, Novi kemudian menuntun tangan mungil gadis itu ke suatu tempat, dan kemudian meninggalkannya pada sebuah perahu yang akan pergi dari pulau tersebut.

"Ingatlah untuk berhati-hati, kota merupakan tempat yang sangat berbahaya, fokuslah pada tujuanmu dan jangan pernah percaya pada siapapun."

Gadis kecil yang mendengar hal itu mengangguk mengerti, membuat Novi tersenyum tipis menanggapi hal itu. Memang gadis kecil itu bisa dibilang anak yang cerdas, ia sudah pandai bicara sejak ia masih berumur 3 bulan dan sudah bisa membaca dan menulis sejak ia berusia 1 tahun.

Novi kemudian memastikan sekali lagi tidak ada satupun orang yang mengikutinya, sebelum memandang gadis itu sekali lagi.

"Aku akan merindukanmu, tapi ingat untuk tidak kembali ke sini, sekarang pergilah." Novi kemudian menghanyutkan perahu gadis itu.

Sang gadis disisi lain hanya terdiam sambil menggerakkan dayungnya secepat mungkin, menatap Novi yang lagi-lagi tersenyum ke arahnya dari kejauhan.

"Pergilah dan temui ibumu, Martha."

Alteia Land:The Fallen Hero's Revenge [End]Where stories live. Discover now